HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Saham LUCK, The Next Amazon versi Jouska

Dua bulan lalu jagat investasi tanah air diguncang dengan berita heboh beberapa nasabah Jouska yang mengalami kerugian. Nominal kerugian tiap nasabah berbeda-beda, namun yang menjadi kesamaan adalah kerugian ditengarai dari investasi di saham perusahaan IT yakni LUCK.

Yang membuat lebih heboh lagi adalah statement pendiri Jouska (Aakar Abyasa Fidzuno) yang menyamakan LUCK dengan saham asal Amerika Amazon. Terlepas dari kasus mis-manage, usaha tidak berizin, dan acting sebagai bandar, penulis tertarik mengulik bagaimana kinerja perusahaan yang umurnya belum sampai 2 tahun di bursa saham Indonesia.

Sentral Informatika Informatika (LUCK)

Berdiri pada tahun 2008, perusahaan bergerak di bidang penyediaan produk elektronik dan jasa teknologi informasi. Pada November 2018, perseroan go public menawarkan 154,6 juta lembar saham dengan Phillip Sekuritas (KK) sebagai Penjamin Pelaksana Emisi Efek.

Dari daftar kepemilikan saham tahun 2019, diketahui bahwa ketiga nama pribadi di atas memegang peranan besar terhadap kinerja usaha. Caroline Himawati Hidajat dengan kepemilikan saham 29,2% berada di posisi Komisaris Utama. Josephine Handayani Hidajat dengan kepemilikan 14,6% berada di posisi Direktur Utama.

Sedangkan Christine Herawati dengan kepemilikan 14,6% memegang posisi Direktur Keuangan. Selain itu ada juga Serial System Pte Ltd yang notabene adalah perusahaan asal Singapura memiliki 20% saham. Dan yang terakhir kepemilikan oleh publik sebesar 21,6%.

Melihat dari grafik periode 3 tahun, saham LUCK sejatinya bukan saham yang sangat buruk. Pendapatan selalu naik dari Rp 97 miliar di tahun 2017 menjadi Rp 133 miliar di tahun 2019. Namun sayangnya laba perseroan tidak berhasil mengikuti pertumbuhan di komponen pendapatan.

Laba perusahaan malah cenderung turun dari Rp 10,1 miliar di tahun 2017 menjadi Rp 7 miliar di tahun 2019. Pertumbuhan ekuitas yang cukup tinggi dari tahun 2017 ke 2018 ini tidak bisa kita jadikan acuan karena perusahaan baru saja IPO di tahun 2018. Perusahaan baru membukukan pertumbuhan ekuitas yang real dari tahun 2018 ke 2019.

Secara profitabilitas usaha, LUCK sebenarnya cukup baik dengan berhasil menjaga gross margin di atas 20%. Namun sayangnya net margin perseroan di tahun 2018 dan 2019 tidak terlalu bagus yakni di bawah 10%.

Baca juga : Gross & Net Profit Margin

Hal tersebut turut berpengaruh besar terhadap ROA di bawah 5% dan ROE di bawah 10% untuk tahun 2018 dan 2019. Dari tabel tersebut kita dapat melihat bahwa tepat sebelum IPO, tahun 2017 menjadi kinerja terbaik perusahaan.

Baca juga : ROE, ROA

Dari tabel di atas bisa dilihat perusahaan cukup konservatif dalam mengambil utang. Current ratio (Asset / Liabilities) di atas 1 menandakan perusahaan memiliki aset yang jauh lebih besar dibandingkan utang. Lalu rasio DER (Liabilities / Equity) juga terbilang rendah dengan angka di bawah 1.

Semenjak IPO, perseroan tercatat hanya pernah membagikan dividen 1 kali yakni di tahun 2020 sebanyak Rp 5/lembar. Jika dibandingkan dengan harga saat pembagian dividen Rp 310, maka persentase yang diterima adalah 1,6%.

KINERJA SAHAM

Hampir semua saham yang baru IPO berfluktuatif dengan sangat cepat bak roller coaster. Tidak terkecuali dengan saham LUCK, harga saham perusahaan yang bergerak di bidang Computer & Services ini bahkan pernah menyentuh harga Rp 2.000/lembar di bulan Juli 2019.

Kala itu valuasi perusahaan sangat overvalued dengan PER di atas angka 150 dan PBV di atas angka 10. Tentu saja ada banyak campur tangan bandar yang berhasil mengerek harga saham overvalued ini. Setelah naik sedemikan tinggi, akhirnya saham pun dibanting hingga turun 90% ke range harga Rp 200/lembar.

Melihat grafik di atas, tentu saja kita dapat mengestimasikan berapa besar kerugian investasi para nasabah Jouska di saham ini. Sungguh disayangkan saham LUCK tidak seperti kode emitennya yang berarti keberuntungan.

Pandangan Penulis

Secara pribadi, penulis sangat menghindari saham yang baru IPO dikarenakan fluktutatif yang tinggi dan kinerja saham / perusahaan yang belum teruji oleh waktu. Sudah banyak sekali contoh saham IPO yang berakhir secara tragis baik harga terjun ke Rp 50, bahkan hingga suspend dan delisting.

Akan lebih baik memilih saham yang sudah tercatat di BEI lebih dari 5 tahun. Dengan begitu, fluktuatif saham yang tinggi sudah berakhir dan harga pun mulai mengikuti kinerja perusahaan yang real.

Ada beberapa poin positif yang penulis lihat dari saham ini yaitu perseroan masih mencatatkan keuntungan di tahun 2019. Lalu pengendali perusahaan juga tidak menjual saham selain pada saat IPO. Porsi kepemilikan publik pun tidak terlalu besar di angka 21,6%. Hal ini menandakan pemilik usaha masih yakin bahwa usaha tersebut bisa berkembang di masa mendatang.

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?