HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

Price to Earning Ratio
Adalah rasio finansial yang digunakan untuk mengukur nilai perusahaan dengan cara membagi harga saham saat ini dengan pendapatan per saham / earning per share (EPS). Rasio ini paling sering digunakan oleh para investor karena berhubungan dengan berapa uang yang dihasilkan suatu perusahaan.

Data EPS yang digunakan di rumus tersebut adalah data EPS tahunan, namun setiap perusahaan mengeluarkan data EPS per kuartal atau periode 3 bulan. Jika data EPS pada kuartal 1 sudah keluar, investor bisa memperoleh data EPS tahunan dengan nilai EPS tersebut dikali 4. Begitu pula jika data EPS kuartal 2 yang tersedia, nilai EPS dikali 2 untuk memperoleh data EPS tahunan. Namun data tersebut tentunya tidak pasti, karena pendapatan perusahaan terus berubah.

Berikut contoh perhitungan PER pada saham LPCK : 

EPS Q1 - 2016 : 320

Harga saham Q1 - 2016 : Rp 7.075

PER Q1 -2016 

= Harga Saham / EPS Tahunan

= Rp 7.075 : (320 x 4)

= 5,5

*Dikarenakan EPS Q1 hanya untuk periode 3 bulan, maka dikalikan 4 untuk mendapat EPS tahunan

EPS Tahun 2016 : 775

Harga Saham Akhir Tahun 2016 : Rp 5.050

PER Akhir Tahun 2016

= Harga Saham / EPS

= Rp 5.050 : 775

= 6,5

Dengan mengetahui nilai PER, maka kita bisa memperoleh informasi berapa lama investasi tersebut balik modal. Suatu perusahaan dengan harga saham Rp 10 dan terus menghasilkan EPS 1 setiap tahunnya, membutuhkan waktu 10 tahun agar investasi berkembang menjadi 2 kali lipat. Rasio PER juga memberikan informasi berapa harga yang investor mau bayar untuk setiap EPS yang dihasilkan.

PER juga sering digunakan untuk memvaluasi suatu saham apakah sudah termasuk undervalued atau overvalued. Umumnya PER dengan nilai di bawah 10 dianggap undervalued, sedangkan PER di atas 20 dianggap overvalued. Untuk PER yang berada di kisaran 10-20 dianggap normal price. Semakin rendah PER maka nilai perusahaan semakin murah, begitu juga sebaliknya. Namun dalam beberapa kasus, PER yang tinggi menunjukkan bahwa saham tersebut termasuk growth stock.

Walaupun PER adalah rasio yang paling sering digunakan oleh investor, namun PER memiliki beberapa kelemahan yaitu :

- Perubahan rasio PER terhitung sangat cepat karena komponen utama perhitungan yaitu EPS selalu berubah dengan cepat tiap kuartal. Hal ini membuat sulit investor untuk menentukan saham tergolong undervalued atau overvalued

- PER tidak mempertimbangkan komponen utang, beberapa perusahaan dapat meningkatkan EPS dengan mengambil lebih banyak utang untuk membiayai pertumbuhan

- PER tidak dapat digunakan untuk menghitung perusahaan yang belum memiliki pendapatan atau sedang adalam kondisi merugi

Price/Earning to Growth

Adalah rasio finansial yang dikembangkan dari PER dengan menambahkan komponen growth / pertumbuhan di dalam perhitungan. Rasio PEG ini dipercaya memberikan perhitungan lebih lengkap karena rasio PER yang tinggi belum tentu tergolong saham overvalued jika ditunjang pula dengan pertumbuhan EPS yang tinggi.

EPS Growth diperoleh dengan membandingkan EPS tahun berjalan dengan EPS tahun lalu. Beberapa analis menggunakan periode pertumbuhan 5 tahun untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Namun rasio ini sulit ditemukan di beberapa website finansial karena belum ada perhitungan yang baku serta perhitungan yang lebih rumit karena tidak setiap tahun perusahaan mengalami pertumbuhan pendapatan.

Berikut contoh perhitungan PEG pada saham UNTR : 

Harga saham tahun 2016 : Rp 21.250

EPS tahun 2016 : 1.341

PER = Rp 21.250 (harga saham) / 1.341 (EPS) = 15,8

Harga saham tahun 2015 : Rp 16.950

EPS tahun 2015 : 1.033

EPS Growth = (1.341 / 1.033) - 1 = 29%

Price/Earning to Growth 

= PER tahun 2016 : EPS Growth

= 15,8 / 29

= 0,54

PEG memiliki nilai tengah di angka 1, jika PEG di bawah 1 maka saham tergolong undervalued dan jika PEG di atas 1 maka saham tergolong overvalued. Dengan EPS growth saham UNTR yang berada di angka 29%, maka PER = 15 tidak bisa dikatakan normal price melainkan undervalued karena PEG yang masih berada di bawah angka 1. Jadi dengan adanya rasio PEG ini, saham dengan PER yang tinggi bisa saja undervalued jika EPS growth lebih tinggi daripada PER.

Rasio PEG memiliki kelemahan dalam memvaluasi saham dengan pertumbuhan rendah. Biasanya perusahaan besar yang sudah berdiri lama tidak menawarkan pertumbuhan yang tinggi, namun di balik itu memberikan pendapatan dividen yang bagus dan stabil. Saham perusahaan kecil lebih mudah memberikan pertumbuhan yang tinggi, namun itu tidak terjamin karena bisa saja di tahun berikutnya EPS mengalami penurunan dalam atau bahkan perusahaan merugi.

Baca : Analisa Saham Menggunakan PBV dan PSR

Comments

  1. Find the long-term growth rate (say, Company X's is 12 percent), add the dividend yield (Company X pays 3 percent), and divide by the p/e ratio (Company X's is 10). 12 plus 3 divided by 10 is 1.5."

    "Less than a 1 is poor, and a 1.5 is okay, but what you're really looking for is a 2 or better. A company with a 15 percent growth rate, a 3 percent dividend, and a p/e of 6 would have a fabulous 3."

    Gue jadi bingung, yang bener mana. Peter lynch atau lu

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo peter lynch juga memasukan faktor dividen yield yaa...

      Delete

Post a Comment

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?