Analisa Delisting Saham BRAU dan TKGA
Mengikuti jejak pendahulunya yaitu Inovisi Infracom (INVS) yang lebih dulu delisting dari bursa, dua saham yang bergerak di bidang pertambangan batubara yaitu Berau Coal Energy (BRAU) dan Permata Prima Sakti (TKGA) juga ikut terkena delisting. Kedua saham ini melengkapi daftar desliting di tahun 2017 ditambah juga dengan saham di sektor transportasi yaitu Citra Maharlika Nusantara Corpora (CPGT) atau yang lebih dikenal dengan nama Cipaganti.
Berau Coal Energy (BRAU)
Berdiri pada tahun 2005 dengan nama PT Risco, perusahaan mulanya bergerak di bidang usaha perdagangan, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain. Pada tahun 2006, perusahaan berfokus pada usaha pertambangan batubara yang dioperasikan oleh anak usaha PT Berau Coal. Di tahun 2010, perusahaan go public dengan menawarkan 10% saham kepada publik.
Kepemilikan saham di Berau cukup simple yang hanya terbagi menjadi 2 yaitu Asia Resource Minerals sebanyak 84,7% dan sisanya dipegang oleh publik sebanyak 15,3%. Asia Resource sendiri adalah perusahaan tambang asal Inggris yang dimiliki oleh keluarga Rothschild. Yang cukup menarik dari Berau adalah kehadiran Fuganto Widjaja yang mengisi posisi strategis sebagai Direktur Utama.
Fuganto adalah cucu dari miliarder asal Indonesia Eka Tjipta Widjaja yang terkenal karena kepemilikan perusahaan Sinarmas Group. Selain memegang posisi strategis di Berau, Fuganto juga memiliki posisi direktur utama di Golden Energy Mines dan direktur di perusahaan induk Berau yaitu Asia Resources Mineral Plc.
Di penghujung suspend pada bulan April tahun 2015, kondisi perusahaan bisa dibilang sangat buruk dengan mencatatkan kerugian 3 kali berturut-turut dari tahun 2012 sampai 2014. Gross margin yang cukup tinggi di usaha batubara tidak dapat membuat perusahaan mencatatkan keuntungan, bahkan harus mencatatkan rugi bersih yang berada di kisaran 10%.
Baca : Gross Margin, Pretax Margin dan Net Profit Margin
ROE dan ROA perusahaan juga menyedihkan dengan mencatatkan posisi negatif. Walaupun kondisi batubara memang cukup berat di penghujung tahun 2014, namun masih banyak perusahaan di sektor ini yang dapat membukukan hasil positif. Rasio utang yang terlalu besar menjadi penyebab utama kehancuran perusahaan, bahkan di akhir tahun 2014 BRAU terpaksa membukukan ekuitas minus.
Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI
Sebenarnya BRAU tergolong perusahaan cukup besar di sektor tambang batubara dengan pendapatan per tahun berkisar Rp 10 triliun. Namun rasio utang yang besar ditambah dengan penurunan harga jual batubara membawa perusahaan BRAU jatuh. Dan semakin parahnya kinerja, perusahaan pada akhirnya tidak memberikan laporan keuangan ke BEI sehingga berujung pada suspend.
Harga saham BRAU pada mulanya sempat naik setelah IPO menuju Rp 550, namun tidak lama berselang saham terus turun hingga menjadi Rp 82 dan setelah itu disuspend. Suspend yang tak kunjung berakhir pun membuat saham ini akhirnya delisting dari bursa. 5,3 miliar lembar saham investor publik pun jadi korban dengan kerugian ditafsir mencapai Rp 436 miliar (5,3 miliar lembar x Rp 82).
Permata Prima Sakti (TKGA)
Didirikan tahun 1980 TKGA mulanya adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha alat tulis, buku dan percetakan. Kode TKGA pun juga lebih pas untuk emiten dengan nama Toko Gunung Agung. Perusahaan juga merupakan pemain lama di bursa saham dengan mencatatkan saham di BEI pada tahun 1992.
Melihat bisnis toko buku dan percetakan yang semakin meredup, perusahaan pun banting setir di tahun 2013 ke sektor pertambangan batubara dengan membeli mayoritas saham Permata Energy Resources pada harga Rp 480 miliar. Sedangkan usaha toko buku dan percetakan dialihkan keluar kepada PT GA Tiga Belas. Untuk memantapkan langkah ini, TKGA pun membawa Garibaldi Thohir yang adalah presiden direktur Adaro Energy (ADRO) untuk masuk ke dalam jajaran posisi top management.
Komposisi kepemilikan saham mayoritas dipegang oleh 3 perusahaan yaitu Permata Prima Energy sebanyak 74,2%, Pearl Hill Investment sebanyak 15% dan Gema Trijaya Harmoni sebanyak 5%. Sedangkan publik hanya mengenggam 57,8 juta lembar saham atau setara dengan 5,72%. Dengan jumlah saham yang beredar di publik kecil, saham TKGA ini pun jadi tidak liquid dengan volume transaksi harian yang kecil.
Setelah tak lagi memberikan laporan keuangan kepada BEI, saham pun disuspend pada akhir tahun 2014. Saham pun sempat dibuka kembali perdagangannya sebentar, namun setelah itu disuspend kembali. Beberapa media bahkan menyebutkan bahwa perusahaan sulit dihubungi baik via telepon, email dan surat menyurat. Kendati terus demikian, akhirnya BEI melakukan delisting saham pada tanggal 16 November 2017.
Dengan sulitnya BEI yang menghubungi perusahaan, sudah dipastikan para investor retail akan lebih sulit lagi untuk meminta pertanggungjawaban TKGA terhadap dana yang diinvestasikan di perusahaan ini. Harga saham terakhir berada di level Rp 1.800/lembar sehingga kerugian investor retail ditafsir mencapai Rp 100 miliar (57,8 juta lembar x Rp 1.800).
Pembelajaran
Rasio utang yang terlalu besar menjadi salah satu penyebab kedua perusahaan di atas terpaksa membukukan hasil laporan keuangan yang negatif dan berujung pada delisting. Ketika bisnis sektor batubara sedang bagus di tahun 2010 hingga 2011, utang yang banyak tentunya tidak terlalu bermasalah. Namun tentu saja berbeda ketika kondisi sektor batubara sedang tidak baik seperti yang dialami di atas tahun 2012.
Dengan utang yang besar, perusahaan pun akan terbebani dengan beban bunga yang besar pula. Ketika perusahaan tidak sanggup menghasilkan keuntungan yang besar, maka sudah dipastikan hal itu akan membuat perusahaan mencatatkan laporan keuangan yang negatif. Dan masalah lebih besar akan muncul ketika perusahaan harus melunasi utang yang telah jatuh tempo.
Membeli saham yang baru IPO tentunya sangat beresiko karena investor masih harus meraba-raba bagaimana perusahaan mencetak keuntungan serta apakah perusahaan memiliki itikad baik kepada investor. Kedua contoh di atas adalah perusahaan yang disuspend kurang dari 5 tahun sejak melakukan IPO. Walaupun TKGA telah mencatatkan saham sejak 1992, namun pergantian bisnis dilakukan tahun 2013 dan belum 5 tahun perusahaan sudah mengalami suspend.
Baca : 5 Alasan menghindari saham IPO
Pergantian jenis usaha lebih sering memberikan dampak kerugian daripada keuntungan bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan masih belum berpengalaman sehingga harus mencoba-coba dan tak jarang melakukan kesalahan yang merugikan bagi para investor. Saham TKGA menjadi contoh bagaimana pergantian bisnis berakhir dengan buruk hingga delisting.
Hindari membeli saham yang tidak liquid seperti TKGA karena ketika kondisi perusahaan buruk, akan sulit bagi investor untuk keluar dari saham tersebut. Bahkan jauh sebelum berubah jenis usaha, saham TKGA memang adalah saham yang tidak likuid dengan volume transaksi yang rendah.
Kita harus berhati-hati dalam membeli perusahaan yang sedang merugi. Sebelum kedua saham tersebut disuspen, perusahaan sudah lebih dulu membukukan kerugian akibat sektor batubara yang sedang melesu. Yang cukup unik adalah Toko Gunung Agung membeli mayoritas saham Permata Prima Sakti ketika perusahaan batubara tersebut sedang mengalami kerugian. Beberapa kerugian dapat pulih sedangkan yang lainnya harus mengalami kebangkrutan.
Berdiri pada tahun 2005 dengan nama PT Risco, perusahaan mulanya bergerak di bidang usaha perdagangan, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain. Pada tahun 2006, perusahaan berfokus pada usaha pertambangan batubara yang dioperasikan oleh anak usaha PT Berau Coal. Di tahun 2010, perusahaan go public dengan menawarkan 10% saham kepada publik.
Kepemilikan saham di Berau cukup simple yang hanya terbagi menjadi 2 yaitu Asia Resource Minerals sebanyak 84,7% dan sisanya dipegang oleh publik sebanyak 15,3%. Asia Resource sendiri adalah perusahaan tambang asal Inggris yang dimiliki oleh keluarga Rothschild. Yang cukup menarik dari Berau adalah kehadiran Fuganto Widjaja yang mengisi posisi strategis sebagai Direktur Utama.
Fuganto adalah cucu dari miliarder asal Indonesia Eka Tjipta Widjaja yang terkenal karena kepemilikan perusahaan Sinarmas Group. Selain memegang posisi strategis di Berau, Fuganto juga memiliki posisi direktur utama di Golden Energy Mines dan direktur di perusahaan induk Berau yaitu Asia Resources Mineral Plc.
Di penghujung suspend pada bulan April tahun 2015, kondisi perusahaan bisa dibilang sangat buruk dengan mencatatkan kerugian 3 kali berturut-turut dari tahun 2012 sampai 2014. Gross margin yang cukup tinggi di usaha batubara tidak dapat membuat perusahaan mencatatkan keuntungan, bahkan harus mencatatkan rugi bersih yang berada di kisaran 10%.
Baca : Gross Margin, Pretax Margin dan Net Profit Margin
ROE dan ROA perusahaan juga menyedihkan dengan mencatatkan posisi negatif. Walaupun kondisi batubara memang cukup berat di penghujung tahun 2014, namun masih banyak perusahaan di sektor ini yang dapat membukukan hasil positif. Rasio utang yang terlalu besar menjadi penyebab utama kehancuran perusahaan, bahkan di akhir tahun 2014 BRAU terpaksa membukukan ekuitas minus.
Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI
Sebenarnya BRAU tergolong perusahaan cukup besar di sektor tambang batubara dengan pendapatan per tahun berkisar Rp 10 triliun. Namun rasio utang yang besar ditambah dengan penurunan harga jual batubara membawa perusahaan BRAU jatuh. Dan semakin parahnya kinerja, perusahaan pada akhirnya tidak memberikan laporan keuangan ke BEI sehingga berujung pada suspend.
Harga saham BRAU pada mulanya sempat naik setelah IPO menuju Rp 550, namun tidak lama berselang saham terus turun hingga menjadi Rp 82 dan setelah itu disuspend. Suspend yang tak kunjung berakhir pun membuat saham ini akhirnya delisting dari bursa. 5,3 miliar lembar saham investor publik pun jadi korban dengan kerugian ditafsir mencapai Rp 436 miliar (5,3 miliar lembar x Rp 82).
Permata Prima Sakti (TKGA)
Didirikan tahun 1980 TKGA mulanya adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha alat tulis, buku dan percetakan. Kode TKGA pun juga lebih pas untuk emiten dengan nama Toko Gunung Agung. Perusahaan juga merupakan pemain lama di bursa saham dengan mencatatkan saham di BEI pada tahun 1992.
Melihat bisnis toko buku dan percetakan yang semakin meredup, perusahaan pun banting setir di tahun 2013 ke sektor pertambangan batubara dengan membeli mayoritas saham Permata Energy Resources pada harga Rp 480 miliar. Sedangkan usaha toko buku dan percetakan dialihkan keluar kepada PT GA Tiga Belas. Untuk memantapkan langkah ini, TKGA pun membawa Garibaldi Thohir yang adalah presiden direktur Adaro Energy (ADRO) untuk masuk ke dalam jajaran posisi top management.
Komposisi kepemilikan saham mayoritas dipegang oleh 3 perusahaan yaitu Permata Prima Energy sebanyak 74,2%, Pearl Hill Investment sebanyak 15% dan Gema Trijaya Harmoni sebanyak 5%. Sedangkan publik hanya mengenggam 57,8 juta lembar saham atau setara dengan 5,72%. Dengan jumlah saham yang beredar di publik kecil, saham TKGA ini pun jadi tidak liquid dengan volume transaksi harian yang kecil.
* nilai dalam USD
Serupa dengan BRAU, TKGA juga mengalami hal yang sama yaitu utang yang terlalu besar dan kondisi perusahaan yang masih merugi. Dengan penjualan mencapai Rp 1 triliun, TKGA termasuk perusahaan menengah di sektor batubara. Di tahun 2013, ekuitas bisa meningkat pun karena adanya bantuan right issue di bulan Maret.Setelah tak lagi memberikan laporan keuangan kepada BEI, saham pun disuspend pada akhir tahun 2014. Saham pun sempat dibuka kembali perdagangannya sebentar, namun setelah itu disuspend kembali. Beberapa media bahkan menyebutkan bahwa perusahaan sulit dihubungi baik via telepon, email dan surat menyurat. Kendati terus demikian, akhirnya BEI melakukan delisting saham pada tanggal 16 November 2017.
Dengan sulitnya BEI yang menghubungi perusahaan, sudah dipastikan para investor retail akan lebih sulit lagi untuk meminta pertanggungjawaban TKGA terhadap dana yang diinvestasikan di perusahaan ini. Harga saham terakhir berada di level Rp 1.800/lembar sehingga kerugian investor retail ditafsir mencapai Rp 100 miliar (57,8 juta lembar x Rp 1.800).
Pembelajaran
Rasio utang yang terlalu besar menjadi salah satu penyebab kedua perusahaan di atas terpaksa membukukan hasil laporan keuangan yang negatif dan berujung pada delisting. Ketika bisnis sektor batubara sedang bagus di tahun 2010 hingga 2011, utang yang banyak tentunya tidak terlalu bermasalah. Namun tentu saja berbeda ketika kondisi sektor batubara sedang tidak baik seperti yang dialami di atas tahun 2012.
Dengan utang yang besar, perusahaan pun akan terbebani dengan beban bunga yang besar pula. Ketika perusahaan tidak sanggup menghasilkan keuntungan yang besar, maka sudah dipastikan hal itu akan membuat perusahaan mencatatkan laporan keuangan yang negatif. Dan masalah lebih besar akan muncul ketika perusahaan harus melunasi utang yang telah jatuh tempo.
Membeli saham yang baru IPO tentunya sangat beresiko karena investor masih harus meraba-raba bagaimana perusahaan mencetak keuntungan serta apakah perusahaan memiliki itikad baik kepada investor. Kedua contoh di atas adalah perusahaan yang disuspend kurang dari 5 tahun sejak melakukan IPO. Walaupun TKGA telah mencatatkan saham sejak 1992, namun pergantian bisnis dilakukan tahun 2013 dan belum 5 tahun perusahaan sudah mengalami suspend.
Baca : 5 Alasan menghindari saham IPO
Pergantian jenis usaha lebih sering memberikan dampak kerugian daripada keuntungan bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan perusahaan masih belum berpengalaman sehingga harus mencoba-coba dan tak jarang melakukan kesalahan yang merugikan bagi para investor. Saham TKGA menjadi contoh bagaimana pergantian bisnis berakhir dengan buruk hingga delisting.
Hindari membeli saham yang tidak liquid seperti TKGA karena ketika kondisi perusahaan buruk, akan sulit bagi investor untuk keluar dari saham tersebut. Bahkan jauh sebelum berubah jenis usaha, saham TKGA memang adalah saham yang tidak likuid dengan volume transaksi yang rendah.
Kita harus berhati-hati dalam membeli perusahaan yang sedang merugi. Sebelum kedua saham tersebut disuspen, perusahaan sudah lebih dulu membukukan kerugian akibat sektor batubara yang sedang melesu. Yang cukup unik adalah Toko Gunung Agung membeli mayoritas saham Permata Prima Sakti ketika perusahaan batubara tersebut sedang mengalami kerugian. Beberapa kerugian dapat pulih sedangkan yang lainnya harus mengalami kebangkrutan.
Comments
Post a Comment