HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Analisa Saham BIRD dan TAXI dengan Keberadaan Taxi Online

Peta persaingan bisnis di bidang transportasi khususnya taxi penumpang telah berubah sangat cepat dalam beberapa tahun belakang ini. Jika sebelumnya bisnis taxi didominasi oleh 3 kelompok yaitu Taxi Biru Bluebird, Taxi Putih Express dan selain 2 Taxi tersebut. Sekarang peta persaingan berubah menjadi 2 kelompok yaitu Taxi Online dan Taxi Konvensional.

Walaupun sama-sama menyediakan transportasi darat, namun kedua kelompok ini menjalankan bisnis dengan cara yang sangat berbeda. Taxi konvensional membutuhkan kantor, armada taxi, lahan pooling, driver, serta perizinan. Di lain pihak, taxi online menjalankan bisnis dengan bertindak hanya sebagai perantara antara pemilik kendaraan dan penumpang. Tentunya taxi online pun tidak membutuhkan armada taxi, lahan pooling, driver serta banyak izin.

Taxi online hanya berfokus pada pengembangan aplikasi, perekrutan pemilik kendaraan serta mendapatkan penumpang. Oleh karena itu perusahaan tidak membutuhkan investasi besar seperti yang dilakukan oleh perusahaan taxi konvensional. Saat ini taxi online hanya didominasi oleh 3 nama besar : Uber, Grab dan Gojek. Ketiga perusahaan ini memiliki layanan serupa seperti transportasi penumpang, pengiriman barang, makanan dan jasa lainnya.

Kehadiran taxi online ini sangat berdampak pada perusahaan taxi yang telah ada lebih dulu karena menawarkan tarif yang lebih murah disertai banyak promosi untuk menarik minat para penumpang. Oleh karena itu banyak penumpang mulai beralih ke taxi online secara cepat. Dan saat ini hampir setiap pengguna smartphone sudah memiliki aplikasi taxi online.

Lalu bagaimana kondisi perusahaan taxi konvensional terutama Taxi Biru - PT Blue Bird (BIRD) dan Taxi Putih – PT Express Transindo Utama (TAXI)?

Blue Bird (BIRD)
Berdiri tahun 2001, perusahaan bergerak di bidang transportasi penumpang dan jasa pengangkutan darat (taksi, limosin, sewa mobil dan bus). Brand perusahaan yang sudah cukup terkenal di masyarakat adalah Blue Bird (taxi regular), Silver Bird (taxi executive), Big Bird (bus), Golden Bird (limousine), dan Iron Bird (transportasi logistik). Baru di tahun 2014, Blue Bird mencatatkan saham di BEI dengan kode BIRD.

Data berikut memberikan info bahwa perusahaan Blue Bird masih benar-benar merupakan perusahaan keluarga dengan 70% saham digenggam oleh nama-nama yang diakhiri kata Djokosoetono. Sedangkan dr. Purnomo Prawiro sendiri adalah anak dari pendiri awal mula Blue Bird yaitu Mutiara Fatimah Djokosoetono. Purnomo pun masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia no 68 dengan harta USD 560 juta atau Rp 7,3 triliun.

Kinerja Blue Bird sebenarnya tergolong bagus melihat peningkatan ekuitas dari Rp 3,6 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 4,6 triliun di tahun 2016 dengan peningkatan 27%. Pendapatan dan laba usaha pun dapat mencatatkan pertumbuhan dari tahun 2014 ke tahun 2015, namun sayang sekali di tahun 2016 pertumbuhan ini tidak dapat terulang kembali. Pendapatan neto tahun 2016 hanya bisa sama dengan tahun 2014 saja, tetapi tidak dengan laba usaha yang terpaksa harus turun jika membandingkan tahun 2016 dengan 2014.

Dari data pendapatan operasional terlihat jelas bahwa penyebab turunnya pendapatan dan laba berasal dari taxi penumpang. Sedangkan pendapatan dari sewa kendaraan terus mencatatkan pertumbuhan dari tahun ke tahun. Diprediksi sewa kendaraan masih memiliki potensi pertumbuhan yang bagus, namun tidak dengan divisi taxi karena persaingan akan semakin kompetitif di masa mendatang.

Walaupun sudah ketinggalan, Blue Bird mulai mencoba untuk berinovasi dengan mengeluarkan aplikasi non-tunai yaitu My Blue Bird. Selain itu perusahaan juga bekerja sama dengan taxi online Gojek dengan menghadirkan menu tambahan Go-Bluebird. Diharapkan dari 2 inovasi tersebut, perusahaan dapat mengambil kembali pangsa pasar yang sudah tergerus oleh taxi online.

Express Transindo Utama (TAXI)


Berdiri tahun 1981, Express merupakan anak perusahaan dari Group Rajawali yang bergerak di bidang usaha transportasi darat. Grup Express juga memiliki beberapa brand lainnya yaitu Eagle dan Tiara. 51% saham perusahaan dimiliki oleh Group Rajawali dan sisanya dimiliki oleh public. Rajawali adalah salah satu perusahaan konglomerat terbesar di Indonesia dengan bisnis yang tersebar di berbagai bidang yaitu media, properti (Four Season, St Regis, Novotel, The Residence), energi dan perkebunan.

Pertumbuhan pendapatan perusahaan dari tahun 2014 ke 2015 sebenarnya cukup baik, namun di tahun 2016 Ekspress mencatatkan penurunan lebih dari 30% menjadi Rp 618 miliar. Hal tersebut juga berimbas ke laba kotor di tahun 2016 yang sangat kecil hanya Rp 74 miliar sehingga perusahaan membukukan kerugian bersih Rp 184 miliar. Ekuitas pun ikut terkena dampak sehingga di tahun 2016 ekuitas menjadi Rp 736 miliar atau turun 20%.

Dengan trend bisnis taxi yang semakin berat sebenarnya perusahaan sudah ingin dijual ke Saratoga Investama Sedaya (SRTG) di awal tahun 2016. Namun sayang perusahaan milik Sandiaga Uno itu akhirnya mengurungkan niat untuk membeli saham Express. Dan semakin memburuknya kinerja perusahaan membuat saham terus turun dari harga di atas Rp 1.000 tahun 2014 menjadi di bawah Rp 100 di tahun 2017 ini. Bukan tidak mungkin harga saham akan menuju ke angka Rp 50.

Taxi Online VS Taxi Konvensional
Akan sangat berat bagi taxi konvensional untuk bersaing dengan taxi online karena perlunya investasi awal untuk armada, lahan pool, driver, izin usaha. Selain itu taxi online juga didukung oleh pemodalan yang sangat besar baik dari investor dalam negri maupun luar negri. Seperti Gojek yang mendapat suntikan dana dari KKR sebesar USD 500 juta / Rp 7,2 triliun. Secara total startup asal Indonesia ini pun telah mendapatkan pendanaan lebih dari USD 1 miliar / Rp 13 triliun.

Di lain pihak Grab yang adalah startup asal Malaysia juga mendapatkan pendanaan dengan nominal yang fantastis pula. Hanya dalam waktu 14 bulan dari waktu berdiri, Grab telah memperoleh USD 340 juta / Rp 4,4 triliun. Lippo Group asal Indonesia pun tidak mau ketinggalan berinvestasi dengan membenamkan dana USD 100 juta / Rp 1,3 triliun di Grab.

Uber sebagai startup asal Amerika memiliki dana yang lebih luar biasa lagi dengan salah satu founder yang masuk ke dalam 400 orang terkaya di Amerika yaitu Travis Kalanick. Korporasi yang telah berinvestasi di Uber pun sangat banyak mulai dari Google Ventures, Baidu (chinese search engine), Toyota. Secara total Uber telah memperoleh dana sebesar USD 11,5 miliar / Rp 149 triliun.

Pendanaan yang diterima setiap perusahaan taxi online tersebut melebihi ekuitas yang dimiliki Blue Bird (Rp 4,6 triliun) dan Express (Rp 700 miliar). Analisa penulis cepat atau lambat taxi online akan menguasai seluruh pangsa pasar baik dengan cara menghancurkan pesaing maupun akuisisi perusahaan taxi konvensional. Mungkin masih ada sisa ruang untuk bisnis penyewaan kendaraan jika bisnis tersebut tidak diambil oleh taxi online.

Baca : Perjalanan Saham CPGT : Bermula dari Investasi Bodong Berakhir dengan Delisting

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?