HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?

Di bulan April 2018 ini, perusahaan yang bergerak di bidang perbankan Bank Bukopin (BBKP) menerbitkan laporan keuangan untuk periode tahun 2017. Agenda reguler ini pun menjadi tidak biasa karena terdapat perbedaan LK di tahun sebelumnya yaitu 2015 dan 2016. Hal mengejutkan ini seakan memberi informasi bahwa semua LK sebelum tahun 2017 dapat dikatakan salah.

Nilai aset, ekuitas, NPL (non performing loan), pendapatan, dan laba perusahaan yang pernah dilaporkan pun seolah-olah bukanlah hal yang penting lagi karena dalam sekejap bisa berubah. Kapabilitas KAP Purwantono yang terafiliasi dengan Ernst & Young pun dipertanyakan berkaitan dengan kasus ini, mengingat EY adalah salah satu dari The Big Four (4 perusahaan audit dan konsultan terbesar di dunia).

Bank Bukopin (BBKP)
Berdiri pada tahun 1970, BBKP sebelumnya memiliki nama Bank Umum Koperasi Indonesia dengan bisnis inti di 4 sektor yaitu UKM, mikro, konsumer dan komersial. Bank milik swasta ini melakukan IPO di tahun 2006 dan berhasil menjadi Bank BUKU III pada tahun 2011. Masuknya Bukopin sebagai BUKU III tidak lepas dari aksi right issue yang membuat modal inti perseroan meningkat hingga di atas Rp 5 triliun.

Baca : Menakar Prospek Saham Bank BUKU IV

Saat ini pemegang saham mayoritas dikuasai oleh Bosowa Group dengan mengempit 2,7 miliar lembar atau setara 30%, lalu di posisi kedua KOPELINDO dengan kepemilikan 1,6 miliar lembar atau setara 18%. Pemerintah Indonesia pun turut ada dalam posisi pemegang saham dengan jumlah 1 miliar lembar atau setara 11,4%. Yang cukup menarik adalah kehadiran investor kawakan Haiyanto di saham ini dengan kepemilikan 69.699.300 lembar atau setara 0,77%.

* dalam satuan miliar Rp
Ini merupakan laporan keuangan tahun 2017 yang diterbitkan oleh BBKP dengan semua nominal berbeda dari yang disajikan pada tahun 2016 lalu. Jumlah aset, ekuitas, pendapatan dan laba bersih menyusut, sedangkan liabilitas berada di posisi yang sama dan ini bukanlah hal yang positif.

Hal terburuk adalah komponen laba bersih yang turun sangat jauh yaitu dari Rp 1,08 triliun menjadi Rp 176 miliar di tahun 2016 atau turun lebih dari 80%. Laba tahun 2015 pun menyusut dari Rp 960 miliar menjadi Rp 427 miliar atau turun lebih dari 40%. Hal ini pun sangat mempengaruhi rasio profitabilitas perusahaan. Hanya pada komponen pendapatan dimana BBKP mengalami sedikit penyusutan saja.

Dengan penyusutan laba bersih yang sangat besar, maka rasio profitabilitas ROA dan ROE perusahaan pun juga mengalami perubahan besar. ROE tahun 2016 yang sebelumnya dilaporkan berada di angka 13,1% pun turun menjadi 4,5%. Lalu di tahun 2015, ROE 14,8% pun menyusut menjadi 8,6%. NPL Bukopin pun meningkat drastis lebih dari 2 kali lipat menjadi 6,37% dari tahun 2016 di angka 2,87%.

Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI

Rasio NPL BBKP di tahun 2017 yang sudah berada di atas 5% ini dapat dikategorikan sangat mengkhawatirkan. Hal seperti ini juga pernah dialami oleh Bank Permata (BNLI) pada tahun 2016 yang menyebabkan perusahaan dalam keadaaan tidak sehat dan membutuhkan suntikan dana melalui aksi right issue. Rasio NPL Bukopin yang tinggi ini disebabkan oleh kredit macet pada perusahaan multifinance dan permasalahan piutang kartu kredit.

Berikut adalah data right issue perusahaan setelah IPO di tahun 2006. Tercatat BBKP telah melakukan right issue sebanyak 3 kali selama rentang waktu 2009 hingga 2014, dimana jarak waktu beberapa right issue tersebut berdekatan. Jumlah saham yang telah diterbitkan selama right issue adalah 3,18 miliar lembar dengan total dana yang berhasil diraup sebanyak Rp 1,7 triliun.

Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue

Selain daripada aksi negatif yang ditimbulkan dari right issue, ternyata perusahaan juga sering sekali melakukan aksi MSOP (Management Stock Option) secara berkala hampir di setiap tahun mulai dari 2007 hingga 2013. Hal ini tentunya memberikan efek negatif yang menyebabkan dilusi kepemilikan saham oleh para investor.

Bank Bukopin juga kembali berencana untuk right issue lagi di bulan Juni 2018 dengan menerbitkan saham baru sebanyak 30% atau 2,7 miliar lembar. Ini akan menjadi right issue terbesar dibandinkan ketiga right issue sebelumnya. Dari beberapa right issue yang berdekatan terlihat bahwa perusahaan tidak memiliki kemampuan profitabilitas yang baik untuk mendanai ekspansi usaha.

Hal yang menarik dari LK Bukopin tahun 2017 adalah ketika laba bersih di laporan laba rugi diubah, namun di bagian pembayaran dividen tidak diubah. Pada tabel ini, perusahaan masih menggunakan laba bersih pada LK 2016 dimana laba tahun 2016 mencapai Rp 1,08 triliun. Dengan perubahan pada komponen laba bersih, tentunya perusahaan sudah tidak dapat membayar dividen untuk tahun buku 2016. Lalu uang dari manakah perusahaan memberikan dividen?

Baca : Ulasan Lengkap Dividen

Kesimpulan
Dengan perubahan yang terjadi pada laporan keuangan perusahaan, tentunya akan sangat banyak pertanyaan yang muncul dari investor. Kenapa bisa salah? Komponen apa saja yang berubah? Apakah yang berubah hanya di tahun 2015 dan 2016 saja, atau bahkan semua LK sebelum tahun 2015 pun berubah? Lalu apa jaminan bahwa LK tahun 2017 ini sudah benar dan tidak akan terjadi revisi seperti saat ini lagi?

Mengutip statement dari Warren Buffett : "It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it." mungkin tepat diberikan kepada saham bank swasta ini. Akan sulit bagi perusahaan untuk mengembalikan lagi kepercayaan dari investor, hanya waktu dan kinerja real yang mungkin bisa mengembalikannya.

Sebagai investor retail tentunya kita tidak dapat lari dari resiko seperti ini dan hanya dapat menerimanya saja. Penulis sendiri termasuk salah satu investor yang mengalami kerugian akibat hal ini dan telah melakukan cut loss untuk menghentikan kerugian lebih lanjut. Untungnya penulis hanya berinvestasi di saham BBKP sebanyak 2% dari total portofolio sehingga kerugian yang ditanggung tidak terlalu besar.

Investor senior Haiyanto mungkin menjadi salah satu investor yang mengalami kerugian besar jika dia belum menjual saham BBKP per bulan April 2018 ini. Jumlah saham yang besar yaitu 69 juta lembar tentunya tidak mudah untuk dijual dalam waktu yang cepat. Jika Haiyanto belum menjual sahamnya, maka ia mengalami kerugian sebanyak Rp 10,6 miliar selama periode Januari hingga April 2018 (Rp 580 - Rp 428 x 69.699.300 lembar).

Dari kasus ini penulis ingin menekankan pentingnya untuk melakukan diversifikasi terlepas sebaik apapun perusahaannya. Karena ada banyak faktor eksternal yang tidak dapat kita kendalikan dan kita harus siap untuk menerima resiko tersebut jika ingin berinvestasi saham. Sebaiknya saat ini hindari dulu atau bahkan cut loss untuk saham BBKP sambil wait and see terhadap kemungkinan di masa mendatang.

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Portofolio Saham Lo Kheng Hong 2022

    Investasi Emas dan Cara Menghitung Harga Emas secara Real

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?