Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?
Di tanggal 22 September 2017 lalu, kabar menghebohkan terjadi pada saham INVS yang mengalami delisting atau penghapusan saham dari bursa secara paksa oleh BEI. Saham dengan nama lengkap Inovisi Infracom akan benar-benar dihapus per tanggal 23 Oktober mendatang. Walaupun begitu saat ini saham masih dapat diperdagangkan di pasar negosiasi.
Sebenarnya saham INVS juga sudah lama tidak diperdagangkan atau disuspend dengan alasan untuk menghindari perdagangan yang tidak wajar. Hal tersebut berkaitan kesalahan pelaporan keuangan perusahaan dan telah berlaku mulai dari bulan Febuari 2015. Data laporan keuangan perusahaan pun hanya tersedia hingga tahun 2013 di website resmi BEI.
Inovisi Infracom (INVS)
Berdiri tanggal 11 Mei 2007, perusahaan memiliki bisnis utama di bidang jasa infrastruktur dan telekomunikasi. Di tahun 2013, INVS memiliki pendapatan bersumber dari bidang infrastruktur telekomunikasi 85%, batubara 5% dan konstruksi infrastruktur 10% dengan membukukan pendapatan Rp 1,67 triliun. Dikarenakan perusahaan hanya memberikan laporan keuangan hingga tahun 2013, maka penulis akan merujuk pada data terakhir yang ada.
Data kepemilikan saham menunjukkan bahwa PT Green Pine adalah pengendali perusahaan dengan kepemilikan 60%. Lalu publik dengan kepemilikan di atas 5% ada 3 perusahaan yaitu Acclaim Investment 8,3%, Chevelle Investment 6,69% dan Ascender International 5,16%. Sedangkan publik dengan kepemilikan di bawah 5% sebesar 19,6%.
Jika kita telusuri lebih dalam via google, tidak ada link yang jelas mengenai siapa sebenarnya dibalik PT Green Pine ini. Berbeda dengan perusahaan TBK lainnya dimana kita dapat mencari siapa investor atau orang dibalik kendalinya. Dengan keputusan delisting dari BEI, diprediksi para investor mengalami kerugian : 1.95 miliar lembar x Rp 117 (harga penutupan terakhir tahun 2015) = Rp 228 miliar. Kerugian ini pun belum termasuk kerugian akibat turunnya harga saham.
Rasio keuangan INVS menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kinerja yang luar biasa dengan semua komponen terbilang sangat baik. Current ratio di atas 100%, Debt to Equity di bawah 100%, dan Debt to Asset di bawah 100% menginformasikan bahwa perusahaan dapat dengan mudah membayar utang-utang yang dimiliki.
Lalu rata-rata ROE di atas 15%, ROA di atas 20% dan Net Profit Margin di atas 30% menginformasikan bahwa perusahaan tidak perlu diragukan dalam hal kemampuan menghasilkan laba. Jadi ketika harga saham turun drastis dari Rp 2.000/lembar menjadi Rp 100/lembar, tidak salah sebagian orang akan menganggap saham tersebut undervalued. Dari sisi rasio PER = 4 dan PBV = 0,4 juga mengindikasikan saham berada di level yang sangat murah.
Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI
Keanehan perusahaan benar-benar terlihat pada aksi saham bonus 1 dan saham bonus 2. Dalam mendistribusikan hasil kinerja tahunan, perusahaan lebih memilih aksi tersebut dibandingkan dividen. Saham bonus kedua pun digelar tidak tanggung-tanggung dengan rasio 9 : 26 yaitu setiap kepemilikan 9 saham lama berhak mendapatkan 26 saham baru.
Baca : Ulasan Lengkap Dividen.
Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan tidak benar-benar menghasilkan uang secara nyata. Padahal jika melihat rasio-rasio yang diatas, tentunya perusahaan tidak perlu diragukan lagi dalam kemampuan menghasilkan profit sehingga bisa mendistribusikan dividen. Lalu hanya dalam waktu 5 tahun saja, saham yang beredar pun telah meningkat 1.000% dari 920 juta lembar menjadi 9,9 miliar lembar.
Untuk meningkatkan pendanaan, perusahaan pun mengelar right issue menerbitkan 782 juta lembar dan 107 juta lembar saham baru dengan tujuan untuk mengakuisisi Petrol One Group Ltd, Great World Ltd, dan beberapa entitas perusahaan lainnya. Langkah mengakuisisi beberapa perusahaan tersebut dan Cakra Daya Energi yang adalah perusahaan pertambangan sebenarnya terbilang aneh karena perusahaan keluar jalur dari bidang usaha utama mereka yakni di bidang telekomunikasi.
Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue
Suspensi INVS
Beberapa keanehan di atas pun memuncak ketika perusahaan disuspend akibat kesalahan dalam pelaporan keuangan pada periode tahun 2014. Manajemen INVS pun seperti tidak melakukan tindakan yang berarti dalam memperbaiki laporan keuangan. Hingga 2,5 tahun dari tanggal suspend 12 Febuari 2015, perusahaan pun masih belum menyerahkan laporan keuangan.
Di sini mulai terlihat bahwa INVS dimungkinkan adalah perusahaan bodong yang diciptakan hanya untuk meraup dana dari publik. Berbekal laporan keuangan yang luar biasa bagus, perusahaan melakukan right issue hingga jumlah saham beredar menjadi 2 kali lipat. Lalu aksi saham bonus yang luar biasa besar yang membuat jumlah saham beredar menjadi 10 kali lipat dari awalnya.
Sebelum aksi suspend ini dilakukan, harga saham INVS pun terjun bebas dari Rp 1.500/lembar di bulan Juli 2014 menjadi Rp 117/lembar di bulan Febuari 2015. Investor yang memegang saham di harga Rp 1.500/lembar akan mengalami kerugian lebih dari 90% hanya dalam jangka waktu tidak sampai 1 tahun. Dimungkinkan juga bandar / investor besar sudah tahu akan terjadi hal seperti ini sehingga mereka menjual secara masif dalam waktu singkat.
Pada bulan Maret lalu, manajemen INVS menargetkan untuk menyelesaikan laporan keuangan paling lambat di September 2017. Namun hingga September 2017, laporan keuangan pun masih belum diberikan ke BEI. Oleh karena itu, BEI pun tidak ragu untuk memutuskan delisting terhadap saham ini. Dan lucunya lagi adalah manajemen pernah mengeluarkan pernyataan ingin kembali menggelar right issue untuk mengumpulkan dana dari publik setelah suspensi saham dicabut.
Kerugian Investor
Merujuk pada jumlah saham publik yang beredar, maka estimasi kerugian investor akibat delisting saham INVS adalah Rp 228 miliar. Walaupun sebenarnya investor tetap memegang saham setelah delisting, tapi akan sangat sulit untuk mencari investor yang ingin membeli saham yang dipegang. Sehingga persentase untuk melikuidasi saham ini pun menjadi sangat kecil.
Dari informasi yang diperoleh dari Kontan, ada seorang investor retail bernama Suryawan Nyoto yang terancam kehilangan uang Rp 2 miliar karena nyangkut di saham INVS. Selain itu juga ada nama Ihwal Surya yang masuk ketika harga saham Rp 135/lembar. Umumnya kerugian investor diprediksi berkisar antara Rp 50-100 juta. Beberapa investor di forum saham Stockbit juga membuat group untuk mengumpulkan para investor yang kehilangan uang di saham INVS.
Penyampaian Laporan Keuangan
Baru setelah ada ancaman nyata mengenai delisting, manajemen INVS akhirnya menerbitkan laporan keuangan tahun 2015 dan 2016 di tanggal 13 Oktober lalu.
Mari kita lihat apakah laporan keuangan tersebut dapat membatalkan proses delisting saham?
Jika bisa membatalkan delisting, bagaimana pergerakan saham INVS?
Di sini mulai terlihat bahwa INVS dimungkinkan adalah perusahaan bodong yang diciptakan hanya untuk meraup dana dari publik. Berbekal laporan keuangan yang luar biasa bagus, perusahaan melakukan right issue hingga jumlah saham beredar menjadi 2 kali lipat. Lalu aksi saham bonus yang luar biasa besar yang membuat jumlah saham beredar menjadi 10 kali lipat dari awalnya.
Sebelum aksi suspend ini dilakukan, harga saham INVS pun terjun bebas dari Rp 1.500/lembar di bulan Juli 2014 menjadi Rp 117/lembar di bulan Febuari 2015. Investor yang memegang saham di harga Rp 1.500/lembar akan mengalami kerugian lebih dari 90% hanya dalam jangka waktu tidak sampai 1 tahun. Dimungkinkan juga bandar / investor besar sudah tahu akan terjadi hal seperti ini sehingga mereka menjual secara masif dalam waktu singkat.
Pada bulan Maret lalu, manajemen INVS menargetkan untuk menyelesaikan laporan keuangan paling lambat di September 2017. Namun hingga September 2017, laporan keuangan pun masih belum diberikan ke BEI. Oleh karena itu, BEI pun tidak ragu untuk memutuskan delisting terhadap saham ini. Dan lucunya lagi adalah manajemen pernah mengeluarkan pernyataan ingin kembali menggelar right issue untuk mengumpulkan dana dari publik setelah suspensi saham dicabut.
Kerugian Investor
Merujuk pada jumlah saham publik yang beredar, maka estimasi kerugian investor akibat delisting saham INVS adalah Rp 228 miliar. Walaupun sebenarnya investor tetap memegang saham setelah delisting, tapi akan sangat sulit untuk mencari investor yang ingin membeli saham yang dipegang. Sehingga persentase untuk melikuidasi saham ini pun menjadi sangat kecil.
Dari informasi yang diperoleh dari Kontan, ada seorang investor retail bernama Suryawan Nyoto yang terancam kehilangan uang Rp 2 miliar karena nyangkut di saham INVS. Selain itu juga ada nama Ihwal Surya yang masuk ketika harga saham Rp 135/lembar. Umumnya kerugian investor diprediksi berkisar antara Rp 50-100 juta. Beberapa investor di forum saham Stockbit juga membuat group untuk mengumpulkan para investor yang kehilangan uang di saham INVS.
Penyampaian Laporan Keuangan
Baru setelah ada ancaman nyata mengenai delisting, manajemen INVS akhirnya menerbitkan laporan keuangan tahun 2015 dan 2016 di tanggal 13 Oktober lalu.
Mari kita lihat apakah laporan keuangan tersebut dapat membatalkan proses delisting saham?
Jika bisa membatalkan delisting, bagaimana pergerakan saham INVS?
Jika dari laporan keuangan semua indikator nya bagus dan ternyata perusahaan ini Bodong maka jelas LK nya di manipulasi. Lalu bagaimana BEI bisa luput dr hal2 spt ini? Berarti BEI juga ikut bertanggung jawab!
ReplyDeleteBEI kalau lihat saham turun terus panik,jadi di delisting
ReplyDelete