HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Seven Eleven Tutup, Bagaimana Kondisi MDRN?

Polemik tutupnya semua gerai Seven Eleven pada akhir bulan Juni 2017 masih menyisakan banyak cerita bagaimana perusahaan menyelesaikan tanggung jawab utang kepada para supplier dan bank. Selain itu perusahaan juga dituntut untuk segera menyelesaikan pembayaran gaji dan pesangon kepada para karyawan.

Artikel Sebelumnya : Akuisisi Sevel Batal, Untung atau Rugi bagi CPIN?

Dengan hilangnya 70% pendapatan utama yang bersumber dari Seven Eleven, maka mau tidak mau perusahaan juga harus merumahkan 1.200-1.300 karyawan seiring tutupnya gerai. Pihak manajemen pun menyampaikan bahwa perusahaan akan fokus ke bisnis yang masih berjalan hingga saat ini yaitu di bidang distributor peralatan kesehatan medis (medical imaging) dan peralatan percetakan (RICOH IT Solution).

Namun dari laporan tahun 2016, kedua bisnis selain 7-Eleven hanya dapat menyumbang Rp 216 miliar dari total pendapatan Rp 891 miliar atau setara 25% dari pendapatan total. Bisnis medical imaging pun saat ini sedang tidak dalam kondisi baik dimana terjadi penurunan 47%.

Hal ini dikarenakan terjadinya pengembalian hak distributor FUJIFILM di bulan Agustus 2015. Namun perusahaan masih memegang hak distribusi lainnya seperti Shimadzu dan Sirona. Untuk divisi RICHOH IT mengalami penurunan 9,8% dibandingkan dengan tahun 2015.

Sebagai catatan saat MDRN berada di masa jayanya, perusahaan pernah menggelar right issue pada tahun 2012 untuk ekspansi bisnis. Dalam right issue tersebut MDRN meraup dana Rp 527 miliar dari right issue dengan rasio 10 : 3 (10 saham lama mendapat 3 HMETD) di harga saham Rp 550/lembar. Dana hasil right issue tersebut digunakan untuk membuka 72 gerai di Jakarta serta pelunasan sebagian utang Bank CIMB Niaga (BNGA).

Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue

Sekarang keadaan berputar 180 derajat dimana perusahaan harus menutup divisi utama dan menyisakan setumpuk utang. Dari laporan keuangan tahun 2016, tercatat perusahaan memiliki utang total Rp 1,33 triliun yang terbagi menjadi 2 yaitu utang jangka pendek sebesar Rp 1 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp 305 miliar. Aset lancar perusahaan yang hanya bernilai Rp 336 miliar tentunya tidak akan sanggup mengatasi utang jangka pendek tersebut.

Dalam menghadapi utang jangka pendek yang segunung dan ketidakpastian bisnis di masa mendatang, perusahaan pun terpaksa melakukan beberapa aksi jual dan gadai aset yang ada. Saat ini sudah 2 aksi yang sudah diketahui yaitu : 
- Modern menjual aset hak guna bangunan yang berada di Surabaya seluas 20.300 meter persegi dengan nilai transaksi Rp 100 miliar untuk keperluan pembayaran utang

- Bank CIMB Niaga (BNGA) sebagai kreditor mengambil beberapa aset tanah dan bangunan milik MDRN. 4 aset properti yang disita oleh BNGA terletak di daerah Matraman (Jakarta), Kelapa Gading (Jakarta), Kuta (Bali) dan Modern Industri (Cikande). Total 4 aset tersebut ditaksir bernilai Rp 124 miliar.

Bank BUMN terbesar yakni Bank Mandiri (BMRI) pun ikut terkena kredit macet dari MDRN dengan nominal utang jangka panjang senilai Rp 147 miliar dan utang jangka pendek senilai Rp 16,8 miliar. Selain itu Bank Permata (BNLI) sebagai kreditor tercatat dengan total utang senilai Rp 34,8 miliar. Nominal terbesar dimiliki oleh Bank Standard Chartered dengan total nilai Rp 243 miliar.

Per semester 1 tahun 2017, perusahaan pun melaporkan penurunan pendapatan hingga 57% menjadi Rp 196 miliar. Padahal di semester 1 tahun 2016, perusahaan masih membukukan pendapatan Rp 455 miliar. Kerugian yang ditanggung perusahaan pun semakin membengkak menjadi Rp 642 miliar.

Padahal hingga saat ini, masih banyak media massa yang menyebutkan bahwa pihak manajemen masih belum menyelesaikan persoalan gaji dan pesangon bagi para karyawan. Yang terberat adalah status ekuitas MDRN per semester 1 tahun 2017 ini hanya tersisa Rp 3,4 miliar saja. Ramalan dari penulis bahwa hingga akhir tahun ini, perusahaan kemungkinan akan memiliki status ekuitas minus dimana utang lebih besar daripada aset.

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?