HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Saham BEKS : Good or Bad Fundamental?

Per bulan Juni 2016 lalu, perusahaan yang dulunya dikenal dengan nama Bank Pundi berubah nama menjadi Bank Pembangunan Daerah Banten. Mayoritas saham pun berpindah tangan dari Recapital Securities ke Banten Global Development. Recapital Securities adalah perusahaan yang dimiliki oleh dua pengusaha terkenal yaitu Rosan Roeslani dan Sandiaga Uno, sedangkan Banten Global Development dimiliki oleh pemerintah provinsi Banten.

BEKS mulanya memang sudah terbelit masalah kredit macet ketika masih memiliki nama Bank Eksekutif yang dimiliki keluarga Widjaja. Di tangan Recapital pun, kinerja perusahaan masih belum bisa menuju arah positif hingga akhirnya dijual ke pemerintah. Padahal nama Recapital sudah berpengalaman di bidang perbankan dengan membesarkan Bank Tabungan Pensiun Negara (BTPN).

Bank Pembangunan Daerah Banten (BEKS)
Didirikan tahun 1992, perusahaan bergerak di bidang finansial perbankan dengan nama Executive International Bank. Lalu perusahaan mengalami banyak perubahan nama menjadi Bank Eksekutif International, lalu menjadi Bank Pundi setelah akuisisi Recapital. Terakhir pun berubah menjadi Bank Pembangunan Daerah Banten dengan akuisisi oleh pemerintah provinsi Banten.

Laporan pemegang saham di tahun 2017 menempatkan Banten Global Development sebagai mayoritas pengendali dengan memegang 32 miliar lembar saham atau setara 51%. Lalu di posisi kedua ada Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha dengan kepemilikan 4,1 miliar lembar atau setara 6,4%, sisanya dimiliki oleh publik sebanyak 42,5%. Ketika Recapital masih sebagai pengendali, perusahaan memegang saham BEKS setara 67,89% pada tahun 2015.

Dari laporan keuangan di bagian neraca, perusahaan terus mengalami fluktuasi dari segi total aset, total kredit yang diberikan, total liabilitas, dan dana pihak ketiga. Untuk lebih mudahnya kita lihat pada baris ekuitas yang menunjukkan berapa nilai perusahaan BEKS. Dapat dilihat bahwa perusahaan mengalami kenaikan ekuitas sebanyak 2 kali yaitu dari 2012 ke 2013 dan dari 2015 ke 2016.

Sisanya perusahaan terus mengalami penurunan ekuitas dan hal ini bukanlah kabar positif bagi pemegang saham. Bahkan setelah pemprov masuk, kondisi perusahaan belum berbalik ke arah positif dengan tercatatnya penurunan ekuitas dari tahun 2016 ke tahun 2017.

Namun sejatinya BEKS hanya pernah membukukan kenaikan ekuitas 1 kali saja yaitu di tahun 2012 ke tahun 2013. Di tahun 2015 ke tahun 2016 tercatat adanya kenaikan ekuitas namun jumlah saham yang beredar juga naik drastis hingga 6 kali lipat. Kenaikan ekuitas sebanyak 1,7 kali lipat dari Rp 310 miliar menjadi Rp 864 miliar terbilang kecil jika dibandingkan dengan 6 kali lipat kenaikan jumlah saham.

Kenaikan jumlah saham yang beredar tersebut dikarenakan BEKS melakukan 2 kali aksi right issue sepanjang tahun 2016. Pada bulan Juli 2016, perusahaan menerbitkan 35,4 miliar saham baru dengan harga penawaran Rp 18,35 / lembar. Kemudian perusahaan kembali menerbitkan 17,9 miliar saham baru di bulan November 2016 dengan harga penawaran yang sama.

Harga penawaran yang sangat rendah dibandingkan harga market membuat investor sangat rugi jika tidak ikut serta dalam right issue ini. Di tahun 2018 ini, BEKS pun direncanakan akan kembali melakukan right issue lagi untuk memperkuat permodalan. Aksi korporasi right issue yang terus menerus seperti ini tentunya menambah kerugian bagi para investor dengan resiko dilusi di dalamnya.

Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue

Pendapatan bunga menunjukkan trend yang terus menurun dari Rp 1,4 triliun di tahun 2012 menjadi Rp 528 miliar di tahun 2017. Terlihat juga perusahaan tidak dapat mengimbangi beban bunga dan beban operasional yang cukup besar sehingga terus mencatatkan kerugian dari tahun 2014 hingga 2017. Namun di tahun 2017, perusahaan berhasil mencatatkan hal positif dengan menurunkan kerugian dari Rp 405 miliar di tahun 2016 ke Rp 76 miliar di tahun 2017.

Dengan mencatatkan kerugian selama 4 tahun, maka dipastikan rasio ROE dan ROA perusahaan dalam kondisi yang tidak baik. Dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang pun BEKS tidak pernah membagikan dividen. Harga saham BEKS pun telah berada di level pesimis terendah yaitu Rp 50 sejak bulan Juni 2017 dan tidak bergerak hingga saat ini di bulan Maret 2018.

Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI

Valuasi Saham
Mengutip laporan keuangan tahun 2017, saham BEKS masih memiliki PER negatif dikarenakan perusahaan masih merugi saat ini. Perusahaan juga memiliki rasio PBV yang sangat tinggi di level 4,0 karena terus melakukan right issue. Jika right issue di tahun 2018 ini jadi dilakukan, maka level PBV akan menjadi semakin tinggi lagi.

Melihat komponen PBV saham BEKS yang sangat tinggi, maka kita bisa bandingkan dengan saham bank swasta terbesar di Indonesia yaitu Bank Central Asia. Menutup tahun 2017, BBCA menutup rasio PBV di level 4,1 yang hanya terpaut sedikit perbedaaan dengan BEKS. Namun BBCA menutup tahun tersebut dengan hasil kinerja yang luar biasa yaitu pendapatan Rp 64 triliun dengan net income Rp 23 triliun (ROE = 17,8%). BBCA juga terkenal sebagai bank yang terus bertumbuh dan rutin dalam membagikan dividen.

Baca : Analisa Saham Menggunakan PBV dan PSR

Lalu Apakah Harga Saham BEKS Bisa Naik?
Harga saham di level Rp 50 tentunya adalah harga yang sangat menarik. Di satu sisi harga saham tidak mungkin lebih rendah lagi dari harga itu sehingga tidak ada kerugian persentase. Di lain sisi harga saham Rp 50 sering kali bisa tidur panjang hingga waktu yang tidak ditentukan dan bukan tidak mungkin berujung pada kondisi suspend atau bahkan delisting. Ketika delisting terjadi tentunya resiko telah berubah menjadi 100% loss.

Hanya ada satu alasan kenapa investor masih berharap dari saham ini yaitu adanya pemegang saham pemerintah. Keterlibatan pemerintah memberi harapan bahwa ketika perusahaan berkinerja baik, maka saham naik dengan cepat. Hal ini tentunya tidak salah, namun dengan valuasi yang sedemikian tinggi penulis tidak yakin harga saham BEKS bisa recover dengan cepat. Terlebih lagi saham BUMN di sektor perbankan ini tidak ada yang memiliki rasio PBV di atas angka 3.

Baca : Apakah Penyebab Harga Saham Naik?

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?