Ulasan Sharing Pengalaman Joeliardi Sunendar oleh Teguh Hidayat
Bisa dikatakan cukup terlambat bagi penulis karena baru membahas video yang telah diupload dari 1 November 2018. Namun setelah melihat video tersebut, penulis pikir ada banyak hal yang bisa dipelajari. Oleh karena itu, penulis mengulas video tersebut ke dalam bentuk tulisan agar lebih mudah dicatat point-point pentingnya.
Perlu diingat bahwa apa yang ditulis tidak sepenuhnya sesuai dengan versi original karena ada perubahan pada saat menyusun artikel ini. Namun dari segi angka, penulis berusaha mencantumkan sesuai dengan isi video tanpa ada perubahan. Penulis juga tidak memasukkan pembahasan kondisi ekonomi makro dalam artikel ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa stock investing masih menjadi salah satu instrumen yang menawarkan return terbesar saat ini. Namun dalam jangka pendek, harga saham cenderung berfluktuasi karena adanya faktor supply dan demand. Sebagai investor jangka panjang, kita harus menganggap bahwa kondisi ini normal terjadi. Selain itu, setiap investor juga perlu melakukan diversifikasi dan money management.
Penting bagi investor untuk tidak menempatkan semua dana ke dalam instrumen saham, kita juga perlu mengalokasikan ke instrumen lain atau bahkan hanya berbentuk cash dan deposito. Sehingga ketika terjadi penurunan harga saham yang tidak ada kaitan dengan fundamental perusahaan, kita masih memiliki dry powder / cash untuk membeli saham tersebut di harga yang bagus.
Walaupun return deposito terbilang rendah, namun kita harus mengambil sudut pandang lain seperti : Apa yang terjadi jika kita tidak punya cash lagi ketika market sedang drop? Akan terjadi opportunity lost untuk membeli saham dengan harga yang baik, dimana dalam waktu 1-2 tahun returnnya bisa sangat tinggi dan dapat mengompensasi return deposito yang rendah tersebut.
Lalu jangan pula menempatkan dana hanya pada 1 sektor saja agar bisa mengimbangi ketika sektor tertentu sedang turun. Sebagai contoh ketika tahun 2018, dimana bursa saham sedang koreksi kita masih bisa menemukan ada 2 sektor yang naik yaitu Mining & Basic Chemical. Contoh lain : ketika kurs rupiah turun biasanya diikuti dengan turunnya kinerja sektor perbankan, namun sektor pertambangan akan naik karena perusahaan berbasis import.
Baca : Apa Sektor Saham yang Paling Tahan Terhadap Krisis?
Bagi investor jangka pendek, kita juga bisa mengakali dengan masuk ke saham-saham dimana sektor tersebut sedang dalam trend naik. Selain itu kita juga bisa mendiversifikasi dana tersebut dengan berinvestasi saham di luar negri, dimana saat ini sudah semakin mudah dengan adanya internet.
Dalam bursa saham, sebenarnya kita dapat membedakan saham menjadi 2 jenis :
1. Legacy stock
Saham yang dimiliki untuk jangka panjang, dimana perusahaan memiliki kemampuan sustainable hingga 20-30 tahun ke depan. Perusahaan yang masuk dalam kategori ini juga memiliki kemampuan untuk menetapkan harganya sendiri seperti Ferrari, Aston Martin, BMW. Dimana ketika harga naikpun tetap ada yang menjadi pembeli setia.
Saham legacy stock umumnya memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
- Pertumbuhan penjualan yang solid
- Net book value yang selalu meningkat, ini merefleksikan kekayaan pemegang saham
- Gross margin yang tinggi : perusahaan dapat menjual produk / jasa dengan harga jauh lebih tinggi dari biaya produksi
- Memiliki ROE di atas pertumbuhan GDP, misalnya ROE sektor perbankan di level 12-15% sedangkan GDP hanya 6%
Baca : 5 Alasan Mengapa Pilih Saham Bluechip?
2. Non legacy : Cyclical, Turnaround
Jenis saham ini bagus untuk dikoleksi jika value yang diperoleh lebih besar dari harga yang ditawarkan. Umumnya perusahaan yang masuk dalam kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menentukan harga jualnya sendiri, seperti perusahaan yang ada di sektor mining dan oil. Contoh non legacy stock : Harum Energy (HRUM), Indo Acidatama (SRSN), dan 3 saham di bawah berikut.
- Citatah (CTTH)
Perusahaan marmer terbesar di Indonesia dengan pengalaman 40 tahun yang hanya dihargai dengan Rp 150 miliar, setara dengan harga rumah di Menteng berukuran 1000m2. Saat ini valuasi perusahaan sangat rendah karena kinerja sektor properti yang kurang baik.
- Polychem Indonesia (ADMG)
Jika melihat history perusahaan ini 10 tahun belakang yang selalu merugi, pastinya tidak akan ada fund manager yang mau masuk. Dengan extra mile, bisa dilihat bahwa perusahaan berhasil menyelesaikan utang 10 tahun lalu sebesar Rp 2,3 triliun tanpa adanya penerbitan saham baru atau setoran modal.
Penyelesaian utang bisa dilakukan karena perusahaan menghasilkan nilai tunai. Dari laporan cashflow, kita juga bisa melihat perusahaan masih menghasilkan cash Rp 220 miliar. Dengan market cap hanya Rp 600 miliar, dalam waktu 3 tahun saja sudah bisa BEP. Jika ditelusuri lagi sebenarnya penyebab kerugian ADMG disebabkan karena adanya beban penyusutan, bukan pada core business.
Walaupun terus menderita kerugian, pengendali saham pun tidak menjual bagiannya. Ini karena tidaklah mudah untuk membangun bisnis yang menghasilkan penjualan Rp 5 triliun, perlu aset kurang lebih Rp 8 triliun. Sedangkan saat ini harga ADMG di bursa hanya ditaksir Rp 600 miliar saja. Ketika nantinya kinerja perusahaan sudah positif dan bisa mulai bagi dividen, dipastikan harga saham akan naik.
- Perusahaan Gas Negara (PGAS)
Saham ini termasuk cyclical karena harga jual produk nya ditentukan oleh kebijakan pemerintah sehingga ketika terjadi perubahan harga jual, saham PGAS bisa langsung terkena dampaknya. Namun jika diteliti history perusahaan 10 tahun ke belakang, ini adalah perusahaan yang bagus.
Bagi yang khawatir dengan resiko dari saham non-legacy, investor juga bisa melakukan trailing stop loss. Jadi resiko diset dulu apakah di angka 20% atau 25%. Jadi ketika harga saham naik, maka stop loss dinaikkan juga levelnya. Dengan begitu, resiko dalam berinvestasi non-legacy stock dapat dibatasi.
Beberapa tips bagi para investor :
- Fokus pada Investasi Jangka Panjang
Sangat disayangkan bahwa 98% pelaku market adalah trader yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo waktu yang singkat. Menurut penelitian, holding period suatu saham di Amerika pada tahun 1960-1970 adalah 4,8 tahun. Namun per hari ini holding period turun drastis menjadi 5,8 bulan. Pastikan dana yang diinvestasikan di bursa saham tidak akan digunakan dalam waktu 3 tahun ke depan karena setiap periode 3-4 tahun selalu terjadi koreksi.
Keberhasilan dalam investasi jangka panjang telah dibuktikan lebih dahulu oleh Warren Buffett yang hanya cukup 20% per tahun dapat mencetak keuntungan 2.200.000%. Namun saat ini banyak sekali investor yang mengejar 2-3% per hari, yang notabene Warren Buffett sebagai investor terhebat saja tidak mengejar hal tersebut.
Disarankan bagi investor untuk tidak memberikan perhatian terlalu besar terhadap kinerja perusahaan dalam waktu 1 kuartal atau bahkan 1 tahun. Biarkan suatu saham untuk melewati sebuah lorong waktu dimana nantinya akan membuahkan hasil yang baik. Sebagai contoh : Wells Fargo (WFC) pada saat pertama kali Buffett invest, asetnya ada US$ 50 miliar (sama seperti BBRI saat ini), saat ini Wells Fargo sudah memiliki aset US$ 2 triliun.
- Hindari Euforia yang Berlangsung pada Suatu Saham
Euforia seringkali membawa saham tersebut naik lebih tinggi dibandingkan kinerja fundamental perusahaan. Sebagai contoh : BBRI pernah mengalami kenaikan harga saham 45% di tahun 2017, padahal EPS perusahaan hanya naik belasan persen. Oleh karena itu, ketika tahun 2018 harga saham BBRI cenderung turun dan stagnan. Ketika euforia terjadi, investor harus bisa menahan diri dan selalu menganalisa apakah harga yang dibayar sesuai dengan value yang diperoleh.
Baca : Apakah Penyebab Harga Saham Naik?
- Harga Saham tidak Mencerminkan Fundamental Perusahaan
Faktanya transaksi harian yang terjadi di bursa saham sangat kecil jika dibandingkan dengan market cap yaitu di bawah 1%. Sebagai contoh : transaksi harian BBRI Rp 300miliar, namun market cap perusahaan Rp 300 triliun. Bagaimana bisa kita katakan harga yang terbentuk di market mewakili value dari sebuah perusahaan?
- Membeli Index
Jikalau modal yang dimiliki kecil, akan lebih baik untuk membeli reksadana saham yang paling mencerminkan kinerja IHSG. Selain itu membeli index juga cocok bagi para investor yang tidak punya waktu untuk belajar saham. Dalam jangka panjang index akan terus naik, walaupun selalu ada fluktuasi di tengah-tengah.
Top 10 Market Capitalization
Saat ini top 10 saham mewakili 50% market cap seluruh saham di BEI dimana pergerakan top 10 ini menyumbang 70% arah pergerakan IHSG. Bagi investor yang tidak mau ribet dalam menentukan pilihan saham, sebenarnya cukup mudah yaitu dengan membeli top 10 market cap saja. Itu sudah merepresentasikan indeks saham.
Namun untuk mendapatkan gain lebih besar sangat disarankan bagi investor individual untuk keluar dari top 10 saham berkapitalisasi besar seperti Bank Central Asia (BBCA), Telekomunikasi Inonesia (TLKM), dan Unilever Indonesia (UNVR). Saham-saham yang tergolong top 10 market cap selalu masuk ke dalam radar fund manager yang memiliki dana besar, dimana hal ini menyebabkan valuasi perusahaan menjadi sangat tinggi.
Study Case : Unilever Indonesia (UNVR)
Sebagai salah satu top 10 market cap, UNVR memiliki PBV yang sangat tinggi yaitu lebih dari 50x. Market cap perusahaan juga berada di angka Rp 330 triliun / US$ 25 miliar. Walaupun begitu, UNVR juga dapat dikategorikan sebagai capital efficient company dengan mencatatkan ROE lebih dari 100% (setiap Rp 1 bisa menghasilkan hingga Rp 1,4).
Akan tetapi dengan market cap US$ 25 miliar, jika kita mengharapkan ten-bagger (naik 10 kali lipat) maka market cap perseroan menjadi US$ 250 miliar. Angka itu menjadi 25% dari GDP Indonesia US$ 1 triliun. Hal itu sangat sulit untuk dibayangkan. Berbeda jika market cap suatu perusahaan seperti Ultra Jaya Milk Industry (ULTJ) yang dari US$ 1 miliar menjadi US$ 10 miliar, itu lebih masuk akal untuk diterima.
Baca : Saham Bluechip, Apakah Pasti Profit?
ULTJ adalah salah satu contoh perusahaan yang luar biasa dengan strong cashflow growth, hal ini menjadikan perusahaan tidak memiliki utang. Dengan komponen cash ULTJ Rp 2,5 triliun dan market cap Rp 15 triliun, harga company menjadi sekitar Rp 12-13 triliun. Cashflow from operation yang positif dan history sales growth selama 10 tahun yang di atas 10% turut menambah citra baik perseroan.
Ultrajaya juga menjadi market leader produk susu UHT dan teh dalam kotak, diharapkan perusahaan bisa menambah value dengan membuat turunan produk susu yaitu keju, yoghurt, dan cream yang bisa menambah pundi-pundi penjualan. Dengan market cap yang tidak terlalu besar, perusahaan ini tidak tersentuh oleh fund manager yang memiliki banyak syarat seperti company size dan likuditas.
Downside Protection
Seperti yang kita ketahui bawa bursa saham memiliki banyak resiko seperti : fluktuasi kurs, defisit neraca perdagangan, investor asing yang keluar, perusahaan pailit, dan banyak lagi resiko lainnya. Akan tetapi, setiap koreksi yang terjadi di market sebenarnya selalu recover dengan estimasi :
- Koreksi 10%, recover dalam waktu 2 bulan
- Koreksi 20%, recover dalam waktu 6 bulan
- Koreksi 40%, recover dalam waktu 2 tahun
Penting bagi setiap investor untuk menggunakan metode Enterprise Value bahkan ketika hanya ingin membeli 1 lembar saham pun. Enterprise Value adalah pendekatan untuk mengukur nilai suatu peusahaan pada saat ingin diakuisisi. Dengan cara ini, kita akan lebih memilih perusahaan yang tidak punya utang sehingga ketika terjadi krisis, masalah yang muncul tidak terlalu besar.
Study Case : Indika Energy (INDY)
Ketika harga komoditas batubara hancur di tahun 2015-2016, harga saham INDY berada di level Rp 120/lembar dengan market cap Rp 600miliar. Dengan harga perusahaan US$ 50 juta, saat itu INDY memiliki cash US$ 300juta. Kita bisa menganalogikan ada sebuah brangkas dengan harga 50 juta tapi memiliki isi 250 juta. Penjualan INDY cukup besar di angka US$ 1miliar dan memiliki 40% saham Kideco, yang menghasilkan dividen US$ 60juta.
Pada saat itu, banyak fund manager yang keluar dan tidak berani invest di saham sektor batubara karena aturan minimal market cap dan sebagainya. Akibatnya saham sektor batubara terjun bebas. Pada momentum ini, hanya investor individual lah yang punya kesempatan untuk mendapat saham dengan harga yang rendah.
Baca : Mencari Peluang di Saham Sektor Komoditas
Perlu dicatat bahwa harga komoditas tidak mungkin bisa turun lebih rendah dari biaya produksi pada perusahaan yang efisien. Dan setiap produk komoditas memiliki siklus dimana ada harga tinggi dan rendah. Yang perlu kita lakukan adalah membeli saham ketika harga rendah dan tunggu hingga harga komoditas naik.
Saat paling tepat menjual saham adalah ketika sudah mulai banyak euforia dari fund manager besar seperti Citibank yang mengeluarkan rekomendasi dan target price. Itu mungkin merupakan tanda bahwa harga saham akan mulai turun. Pada akhirnya dengan memproteksi downside risk, potensi keuntungan akan datang dengan sendirinya
Tips untuk investor kecil :
- Tunggu hingga perusahaan berhasil membukukan keuntungan
Ketika kinerja perusahaan mulai positif, biasanya akan banyak fund manager mulai masuk ke saham tersebut yang tentunya mengerek naik harga saham. Jangan takut terlambat masuk ke suatu saham, sebagai contoh : walaupun masuk ke INDY di harga Rp 500 ataupun Rp 1.000, investor tetap bisa profit dengan naiknya harga saham INDY ke Rp 4.000.
- The Magic of Compounding
Jangan berkecil hati jika kita mulai berinvestasi dengan jumlah uang yang sedikit. Ingatlah bahwa Warren Buffett juga mulai berinvestasi saham dengan dana US$ 100ribu, dan terus berkembang hingga US$ 85miliar saat ini. Itu semua berkat magic of compounding (bunga berbunga).
Comments
Post a Comment