HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Menakar Saham GIAA atas Kerugian pada Kuartal I tahun 2017

Isu kebangkrutan Garuda Indonesia akhir-akhir ini berhembus kencang terutama ketika Mantan Mentri Kemaritiman, Rizal Ramli angkat bicara mengenai kondisi krisis yang sedang dialami perusahaan. Dikatakan bahwa salah satu penyebab krisis adalah karena Garuda membeli pesawat A350 yang hanya cocok untuk rute ke Eropa. Pada penerbangan jarak jauh Garuda terus merugi karena harus berkompetisi dengan Fly Emirates dan Qatar Airways.

Terlepas dari hal tersebut, di kuartal I tahun 2017 laporan keuangan GIAA mencatatkan kerugian Rp 1,3 triliun padahal di kuartal I tahun 2016 perusahaan masih mencatatkan keuntungan USD 1 juta. Kenaikan biaya bahan bakar dituding menjadi salah satu penyebab perusahaan BUMN yang bergerak di sektor penerbangan ini merugi.

Bisnis Penerbangan di Indonesia
Saat ini perusahaan penerbangan komersil di Indonesia dikuasai oleh 3 group besar yaitu Garuda Indonesia (Garuda, Citilink), Lion Air (Lion, Batik, Wings) dan Sriwijaya Air (Sriwijaya, Nam). Selain itu sebenarnya masih ada beberapa perusahaan penerbangan lainnya (AirAsia, Susi Air, dan lain-lain) namun mereka memiliki keterbatasan rute perjalanan. 

Bisnis di sektor penerbangan yang tergolong berat memaksa beberapa perusahaan gulung tikar seperti yang terjadi pada Merpati, Mandala, Batavia, dan Adam Air. Sandiaga Uno yang menjabat sebagai wakil gubernur DKI periode 2017-2022 pun merasakan pahitnya bisnis di sektor penerbangan melalui bangkrutnya Mandala Air. Padahal Sandi memiliki 51% saham Mandala Air melalui perusahaan investasi Saratoga Capital.

Beberapa penyebab beratnya bisnis di sektor penerbangan :
- Dana yang dibutuhkan untuk investasi pesawat baru sangat tinggi
- Konsumen yang tidak loyal, lebih dari 90% konsumen memilih pesawat yang digunakan hanya berdasarkan faktor harga saja
- Biaya tetap dalam beroperasi yang tinggi. Bahkan tidak ada perbedaan biaya yang signifikan dengan mengangkut 5-10 orang lebih banyak, sehingga banyak perusahaan penerbangan fokus untuk menjual habis tiket
- Pada beberapa kasus seperti kecelakaan, perusahaan membutuhkan dana yang sangat besar untuk menyelesaikan permasalahan

Garuda Indonesia (GIAA)
Berdiri tahun 1950, Garuda telah menjadi salah satu perusahaan penerbangan ternama dengan 7 entitas anak perusahaan yaitu PT Aero Wisata, PT Sabre Travel Network Indonesia, PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia, PT Aero Systems Indonesia, PT Citilink Indonesia, PT Gapura Angkasa, dan Garuda Indonesia Holiday (GIH) France. GIAA menjadi perusahan public dengan mencatatkan saham di BEI pada tahun 2011

Kepemilikan saham didominasi oleh Pemerintah dengan memegang 1 lembar saham seri A (pengendali) dan 60,5% saham seri B. Porsi kepemilikan 24,8% dimiliki oleh pebisnis Chairul Tanjung via PT. Trans Airways menjadikan CT sebagai salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan BUMN ini. Chairul Tanjung memborong saham GIAA ketika perusahaan sedang melakukan right issue di tahun 2014 lalu.

Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue

Chairul Tanjung adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang tercatat sebagai orang terkaya nomor 5 di Indonesia tahun 2017. CT Corp yang merupakan induk usaha dari Chairul Tanjung bergerak di berbagai bidang seperti media (Trans TV, Trans 7, Trans Studio), keuangan (Bank Mega, Mega Finance), retail (Carefour) dan properti (Bandung Supermall). Di perusahaan penerbangan Garuda, CT juga menempatkan adik kandungnya Chairal Tanjung sebagai komisaris.

Data segmen operasi Garuda Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang baik untuk jumlah penumpang yang diangkut, ini adalah pertanda kelas menengah di Indonesia yang semakin bertumbuh. Indonesia sebagai kepulauan besar yang terdiri dari 35 provinsi juga masih menyisakan ruang besar untuk pertumbuhan bagi industri penerbangan lokal di masa mendatang.

Kinerja Perusahaan
Melihat data laporan keuangan yang ditampilkan oleh GIAA, perusahaan memiliki rapor yang kurang baik. Data penjualan terlihat jalan di tempat dengan perolehan berkisar antara USD 3,5 miliar hingga USD 4 miliar selama tahun 2012 hingga 2016. Laba perusahaan juga mengalami fluktuasi yang sangat drastis, terkadang untung kecil namun di lain waktu rugi sangat besar. Jika melakukan penghitungan secara kasar, keuntungan selama 4 tahun di 2012, 2013, 2015 dan 2016 bahkan tidak dapat menutupi 1 kerugian di tahun 2014.

Jumlah aset yang meningkat pun tidak menunjukkan bahwa kondisi perusahaan baik, karena diiringi juga dengan kenaikan jumlah liabilitas / utang. Ekuitas juga mengalami hal yang sama dengan laba/rugi dimana kenaikan ekuitas tidak dapat mengimbangi penurunan ketika perusahaan sedang mengalami kerugian. Garuda pun juga tidak pernah membagikan dividen sejak IPO di tahun 2011.

Baca : Ulasan Lengkap Dividen

Dari berita terakhir disebutkan juga bahwa kuartal 1 tahun 2017, GIAA merugi sebanyak USD 98,5 juta. Sedangkan pada kuartal 1 tahun 2016, perusahaan masih membukukan keuntungan USD 1,02 juta. Jumlah kerugian ini hampir sama dengan kerugian yang pernah dialami kuartal 1 tahun 2014 lalu, dan pada akhir tahun Garuda terpaksa harus mencatatkan kerugian bersih.

Kesimpulan
Salah satu penyebab Sandiaga Uno menutup lembar bisnis penerbangan di perusahaan investasi Saratoga tahun 2014 yaitu operasional bisnis yang hampir semuanya menggunakan mata uang USD tapi pendapatan memakai Rp. Hal ini akan sangat membebani perusahaan ketika terjadi lonjakan kurs USD ke Rupiah seperti saat tahun 2014 dari yang sebelumnya berkisar Rp 9.000 menjadi Rp 13.000.

Kesuksesan right issue GIAA tahun 2014 menjadi salah satu bantuan dari Chairul Tanjung untuk menghadapi lonjakan kurs yang tengah dihadapi perusahaan. Walaupun Garuda Indonesia adalah perusahaan BUMN yang berada di bawah naungan pemerintah, namun kita sebagai investor harus memahami potensi dan resiko di balik bisnis penerbangan saat ini. Merpati telah menjadi salah satu contoh BUMN sektor penerbangan yang bangkrut tanpa dibantu oleh pemerintah.

Jadi apakah Chairul Tanjung akan mengalami kerugian sama halnya dengan Sandiaga Uno?
Atau Chairul Tanjung dapat menemukan cara agar terbebas dari momok mengerikan seputar bisnis penerbangan?

Baca : Analisa Saham BIRD dan TAXI dengan Keberadaan Taxi Online

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Jejak Haiyanto di Saham KDSI

    Perjalanan Saham CPGT : Bermula dari Investasi Bodong Berakhir dengan Delisting

    Gross Margin, Pretax Margin, dan Net Profit Margin

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Menakar Prospek Saham Bank BUKU IV

    Right Issue, Untung atau Rugi?

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Lo Kheng Hong Beli Saham MBSS. Kenapa?

    5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI