HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Perjalanan Saham LPKR dan LPCK di Proyek Meikarta

Pada pertengahan tahun 2017 lalu, Meikarta disebut-sebut sebagai proyek properti terbesar diantara kondisi properti yang sedang lesu ini. Pihak manajemen pun menggarap proyek ini secara ambisius dengan beriklan di berbagai media televisi maupun cetak. Hasilnya pun cukup gemilang dengan dicapainya penjualan 150.000 unit apartemen per November 2017.

Artikel Sebelumnya : Analisa Saham LPCK dengan Proyek Meikarta Senilai 278 Triliun

Kendati demikian, beberapa pengembang besar lainnya lebih memilih untuk menahan launching properti karena takut tenggelam oleh euforia Meikarta. Di lain sisi, kasus reklamasi yang tak kunjung usai pun turut menahan ekspansi 2 pengembang besar yaitu Agung Podomoro Land (APLN) dan Agung Sedayu Group.

Baca : Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

Namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus reklamasi, Meikarta juga menerima berbagai kritikan dan pencekalan yang tidak kalah heboh. Berikut beberapa informasi dan berita terkait proyek Meikarta :

Juli 2017
* dalam satuan miliar Rp
LPCK menerbitkan laporan keuangan kuartal kedua dimana pendapatan perusahaan turun sedikit dari Rp 850 miliar di kuartal dua tahun 2016 menjadi Rp 828 miliar atau turun sebanyak 2,6%. Sedangkan perbedaan terbesar ada pada laba bersih dimana perusahaan melaporkan penurunan 26,3% dari Rp 354 miliar di kuartal dua tahun 2016 menjadi Rp 261 miliar di kuartal dua tahun 2017. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proyek Meikarta baru launching di bulan Mei.

Agustus 2017
Terjawablah kebingungan investor mengenai siapa yang akan memperoleh pendapatan dari proyek Meikarta ini. LPKR sebagai perusahaan induk melaporkan telah memperoleh marketing sales senilai Rp 2,4 triliun dari Meikarta. Di bulan ini pula Meikarta mulai dikritik sebagai proyek ilegal karena belum mengantongi izin dari pemerintah provinsi Jawa Barat. Tidak tinggal diam, Lippo Group pun terus berupaya untuk memperoleh izin pembangunan.

Oktober 2017
* dalam satuan miliar Rp
Data laporan keuangan LPKR menunjukkan bahwa perusahaan cenderung stagnan dengan penurunan 3,1% pendapatan usaha dari Rp 5 triliun di kuartal 2 tahun 2016 menjadi Rp 4,8 triliun di tahun 2017. Laba bersih pun cenderung stagnan dengan penurunan sebesar 2%. Data ini masih lebih baik ketimbang anak usahanya yaitu Lippo Cikarang (LPCK) yang mencatatkan penurunan laba bersih cukup besar.

Informasi dari berbagai media menyebutkan bahwa Meikarta menjadi produk dengan biaya iklan terbesar pada periode Januari - September 2017 dengan jumlah Rp 1,2 triliun. Biaya iklan ini bahkan unggul jauh dibandingkan Traveloka, Indomie, Vivo dan Samsung. Yang menarik adalah tidak ada iklan properti lainnya yang masuk ke dalam 20 daftar produk iklan terbesar.

Tentunya biaya ini sangat besar jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh perusahaan. Walaupun laporan keuangan kuartal III belum dipublikasikan secara resmi, pihak manajemen menyatakan telah memperoleh penjualan Rp 4,9 triliun dari Meikarta. Rasio perbandingan biaya dengan pendapatan terbilang sangat besar yaitu 25% (Rp 4,9 triliun dibagi Rp 1,2 triliun).

Desember 2017
Izin yang dimiliki oleh Lippo Group untuk pembangunan kota mandiri Meikarta hanya seluas 84 hektar. Luas ini sangat berbanding terbalik dengan statement yang diberikan oleh manajemen pada awalnya yang berjanji untuk menggarap lahan seluas 500-2.200 hektar. Namun tentunya keputusan ini belum bersifat final dan masih bisa berubah sesuai dengan peta politik di masa mendatang.

Kebutuhan dana yang besar untuk menggarap proyek Meikarta membuat kedua perusahaan properti besutan Lippo Group yaitu LPKR dan LPCK mencari pendanaan melalui right issue. Diinformasikan bahwa LPRK akan menerbitkan 1,45 miliar saham baru dengan target dana yang dihasilkan adalah Rp 600 miliar. Di lain sisi, LPCK mencari pendanaan Rp 800 miliar dengan menerbitkan 258 juta lembar saham baru di harga Rp 3.800/lembar.

Aksi right issue ini tentunya akan membuat rugi para investor karena adanya efek dilusi setelah aksi dilakukan. Jumlah right issue ini juga terbilang kecil melihat biaya iklan yang telah dikeluarkan Lippo Group. Secara total right issue LPCK senilai Rp 800 miliar ditambah LPKR senilai Rp 600 miliar hanya berjumlah Rp 1,4 triliun, sedangkan biaya iklan telah mencapai Rp 1,2 triliun.

Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue

Febuari 2018
Akhirnya LPKR dan LPCK menerbitkan laporan keuangan kuartal tiga per tanggal 1 Febuari 2018 kemarin. LPKR membukukan kenaikan pendapatan usaha 1,5% menjadi Rp 7,4 triliun dengan laba bersih turun 7,2% menjadi Rp 625 miliar jika dibandingkan tahun 2016 kuartal ketiga. Mengikuti induk usahanya, LPCK juga membukukan pendapatan usaha yang sama dengan periode lalu di Rp 1,1 triliun dengan laba bersih turun 10% menjadi Rp 418 miliar.

Sepertinya hasil proyek Meikarta tidak tercermin dari laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan, tidak ada kenaikan signifikan pada porsi pendapatan usaha sedangkan laba bersih malah turun. Laporan keuangan yang diterbitkan pun terbilang sangat aneh. Pada bulan Agustus lalu, Meikarta diinfokan masuk ke pendapatan LPKR namun biaya iklan sebesar Rp 1,4 triliun malah dimasukkan ke LK LPCK pada kolom biaya dibayar dimuka lancar.

Keanehan pun belum selesai karena biaya tersebut ditempatkan pada kolom aset sehingga membuat book value perusahaan pun naik. Di tengah ketidakjelasan baik pada laporan keuangan serta hasil proyek Meikarta memunculkan tanda tanya besar bagi para investor terhadap saham di group Lippo. Selain itu proses perizinan yang belum selesai juga akan menjadi hambatan ekspansi perusahaan di masa mendatang.

Sentimen positif proyek Meikarta pun tidak terlihat pada pergerakan harga saham di kedua emiten. tersebut. Selama periode Mei 2017 hingga Desember 2017, LPKR mengalami penurunan Rp 790 menjadi Rp 510 atau turun sebanyak 35%. Mengikuti jejak perusahaan induknya, LPCK juga mengalami penurunan dari Rp 4.390 menjadi Rp 3.140 atau turun sebanyak 28%.

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?