Kemelut Saham Tiga Pilar Sejahtera (AISA)
Tampaknya tidak salah jika penulis katakan bahwa saham AISA merupakan salah satu saham yang paling hot diperbincangkan di tahun 2018 ini. Terlihat berbagai pembahasan yang tidak kunjung reda di salah satu forum saham terbesar. Lalu diikuti dengan pemberitaan media investasi yang selalu mengundang ketertarikan besar terutama bagi pemegang saham maupun penontonnya.
Di sini penulis coba merangkumkan kemelut yang terjadi di tubuh perusahaan :
Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA)
Telah berdiri sejak 26 tahun yang lalu di tahun 1992, perseroan memiliki berbagai produk makanan seperti mie, bihun, mie instan, wafer, biskuit, permen dan terakhir adalah snack Taro yang dibeli dari Unilever (UNVR). Strategi perusahaan untuk memperbesar volume penjualan dengan divisi beras tampaknya tidak memberikan hasil yang baik.
Juli 2017
Kasus beras oplosan muncul menyeret anak usaha Tiga Pilar yaitu PT Indo Beras Unggul. Sebanyak 1.161 ton beras disita oleh pemerintah sebagai barang bukti. Kasus lainnya ikut bermunculan seperti penipuan label nilai gizi hingga menyebabkan konsumen menderita diabetes.
Baca : Prospek Saham AISA dengan Terjeratnya Kasus Beras Oplos PT IBU
September 2017
Buntut dari kasus yang menimpa PT IBU, pemerintah memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) dimana maksimum harga tertinggi beras premium adalah Rp 12.800/kg. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik spekulasi jual beras dengan harga jauh di atas pasaran. Namun di lain sisi penetapan ini memberikan efek kerugian bagi produsen beras tak terkecuali AISA.
November 2017
Manajemen berencana mengeluarkan bisnis beras keluar dari AISA (divestasi). Adapun calon investor yang mengambil divisi tersebut adalah PT Jom Prawarsa Indonesia. Perusahaan tersebut sebenarnya adalah pihak yang terafiliasi perseroan, sebab keduanya dikendalikan oleh orang yang sama yaitu Stefanus Joko Mogoginta
Desember 2017
Proses divestasi bisnis beras yang berjalan alot pun berakhir dengan diumumkannya penutupan bisnis beras oleh Tiga Pilar. Kurang lebih 1.700 karyawan harus dirumahkan karena aksi ini. Penutupan pun tidak mengakhiri masalah yang selama ini mendera di tubuh perusahaan.
AISA harus menyelesaikan utang obligasi yang diambil perusahaan dalam rangka memperbesar bisnis beras. Tercatat Obligasi dan Sukuk TPS Food I akan segera jatuh tempo tanggal 5 April 2018 senilai Rp 900 miliar. Lalu ada juga Sukuk TPS Food II senilai Rp 1,2 triliun yang bunganya harus dibayarkan setiap periode 3 bulan.
Baca : Utang
Maret 2018
Berbagai upaya restrukturisasi utang yang ingin dilakukan perusahaan tidak ada yang membuahkan hasil. Upaya meminjam uang Rp 1,4 triliun dari Bank Mandiri, penjualan bisnis beras ke Bulog, serta penerbitan saham baru dengan target Rp 500 miliar pun tidak terlaksana. Akhirnya perseroan terpaksa harus memperpanjang tenor jatuh tempo obligasi untuk menghindari status gagal bayar.
Juni 2018
Penantian panjang para investor terhadap laporan keuangan akhirnya dipenuhi oleh perusahaan dengan menerbitkan laporan tahun 2017 di detik-detik terakhir bulan Juni 2018. Manajemen beralasan ada proses audit yang harus dilakukan. AISA melaporkan penurunan pendapatan sebesar 24,83% menjadi Rp 4,9 triliun.
Selain itu perusahaan harus menelan pil pahit kerugian sebesar Rp 551,9 miliar di akhir tahun 2017. Di bulan ini juga perseroan mengumumkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilakukan tanggal 27 Juli 2018. Ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh pemegang saham untuk mengetahui apa yang terjadi di perusahaan.
Juli 2018
Tanggal 5 Juli 2018 saham AISA disuspensi akibat perusahaan gagal membayar bunga obligasi yang telah jatuh tempo. Harga saham pun tertahan di level Rp 168/lembar tanpa adanya kejelasan kapan suspensi akan dilepas. Selang 1 hari kemudian Group Sinarmas melalui PT Sinarmas Aset Management dan Asuransi Jiwa Sinarmas mengajukan PKPU bertujuan untuk menagih bunga Obligasi TPS Food I 2013.
Diketahui, Sinarmas Asset Management memegang Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 21,147 miliar, dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2016 senilai Rp 296 miliar. Sementara Asuransi Jiwa Sinarmas memiliki Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 100 miliar, dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2013 senilai Rp 200 miliar. Namun akhirnya PKPU ini dibatalkan.
Penolakan laporan keuangan tahun 2017 menjadi poin utama RUPS kali ini karena diduga ada aliran dana siluman yang keluar dari perusahaan dengan alasan tidak jelas. Jumlah Rp 1,7 triliun mengalir ke 7 perusahaan yang dimiliki oleh Joko Mogoginta, seharusnya jumlah tersebut dapat membebaskan perusahaan dari kemelut utang yang mendera perusahaan.
Belum lagi metode pencatatan yang seharusnya transaksi terafiliasi diubah menjadi transaksi pihak ketiga. Metode seperti ini tentunya menciderai asas good corporate governance (GCG). Joko pun tidak dapat menjelaskan secara clear permasalahan ini ke pemegang saham hingga akhirnya ia melakukan aksi walk out.
KKR yang saat ini memegang 9,09% saham AISA, dituding melakukan hostile take over atau pengambilalihan perusahaan secara paksa oleh Joko Mogoginta. Namun hal tersebut disangkal karena KKR tidak pernah menambah jumlah kepemilikan terhadap AISA.
Kesimpulan
Permasalahan di dalam tubuh Tiga Pilar bisa dikatakan sudah sangat kacau, penulis coba merangkumkan beberapa poin sebagai acuan bagi investor :
1. Akuisisi yang agresif
Demi meningkatkan value penjualan, perusahaan terlalu banyak mengambil langkah akuisisi agresif yang berakhir dengan gagal total. Dimulai dari akuisisi Golden Plantation (GOLL) yang berujung dengan divestasi ke perusahaan terafiliasi, lalu diikuti bisnis beras yang harus tutup.
Pemilik dengan mudahnya melakukan aksi cuci tangan melempar keluar masalah (divestasi). Cara ini sayangnya tidak dapat diterapkan ketika bisnis beras gagal sehingga masalah di dalam perusahaan menjadi berlarut-larut. Jika saja AISA tetap berada di dalam circle of competence, pastinya hal ini tidak akan terjadi.
2. Pelaporan yang tidak transparan
Terlalu banyak tipu muslihat yang dilakukan manajemen sangat membingungkan investor retail. Divestasi GOLL tidak kunjung dilunasi oleh JOM (perusahaan milik Joko Mogoginta), lalu banyaknya aliran dana keluar untuk anak usaha yang tidak jelas peruntukannya. Padahal uang tersebut bisa digunakan untuk melunasi bunga bahkan pokok pinjaman.
3. Kepemilikan saham terus berkurang
Per tahun 2017, Tiga Pilar Corpora masih memiliki 22% saham AISA dan menempatkan pemilik perseroan sebagai pengendali. Namun pada periode Juli 2018 ini, Tiga Pilar sudah tidak berada dalam posisi pemegang saham di atas 5%. Kepemilikan yang terus berkurang ini mengindikasikan pemilik akan segera kabur meninggalkan perusahaan.
Apakah Perusahaan Masih Bisa Diselamatkan?
Analisa subjektif dari penulis adalah masih bisa, namun dibutuhkan strategi restrukturisasi yang berdasar pada inti masalah. Penulis sebagai pemegang saham perusahaan juga setuju agar posisi manajemen dirombak total dengan orang baru yang lebih capable mengingat jumlah saham Tiga Pilar Corpora yang juga terus berkurang.
Walaupun posisi perusahaan saat ini sudah kacau, akan tetapi ini tidaklah lebih buruk dibandingkan Bumi Resources (BUMI) yang ternyata juga dapat diselamatkan. Apalagi sektor consumer goods adalah sektor yang memiliki brand loyalty yang bagus. Namun tentunya keputusan investasi atau cut loss kembali ke pribadi masing-masing.
Baca : Posisi Loss Jadi Investor Fundamental Dadakan?
Di sini penulis coba merangkumkan kemelut yang terjadi di tubuh perusahaan :
Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA)
Telah berdiri sejak 26 tahun yang lalu di tahun 1992, perseroan memiliki berbagai produk makanan seperti mie, bihun, mie instan, wafer, biskuit, permen dan terakhir adalah snack Taro yang dibeli dari Unilever (UNVR). Strategi perusahaan untuk memperbesar volume penjualan dengan divisi beras tampaknya tidak memberikan hasil yang baik.
Juli 2017
Kasus beras oplosan muncul menyeret anak usaha Tiga Pilar yaitu PT Indo Beras Unggul. Sebanyak 1.161 ton beras disita oleh pemerintah sebagai barang bukti. Kasus lainnya ikut bermunculan seperti penipuan label nilai gizi hingga menyebabkan konsumen menderita diabetes.
Baca : Prospek Saham AISA dengan Terjeratnya Kasus Beras Oplos PT IBU
September 2017
Buntut dari kasus yang menimpa PT IBU, pemerintah memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) dimana maksimum harga tertinggi beras premium adalah Rp 12.800/kg. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik spekulasi jual beras dengan harga jauh di atas pasaran. Namun di lain sisi penetapan ini memberikan efek kerugian bagi produsen beras tak terkecuali AISA.
November 2017
Manajemen berencana mengeluarkan bisnis beras keluar dari AISA (divestasi). Adapun calon investor yang mengambil divisi tersebut adalah PT Jom Prawarsa Indonesia. Perusahaan tersebut sebenarnya adalah pihak yang terafiliasi perseroan, sebab keduanya dikendalikan oleh orang yang sama yaitu Stefanus Joko Mogoginta
Desember 2017
Proses divestasi bisnis beras yang berjalan alot pun berakhir dengan diumumkannya penutupan bisnis beras oleh Tiga Pilar. Kurang lebih 1.700 karyawan harus dirumahkan karena aksi ini. Penutupan pun tidak mengakhiri masalah yang selama ini mendera di tubuh perusahaan.
AISA harus menyelesaikan utang obligasi yang diambil perusahaan dalam rangka memperbesar bisnis beras. Tercatat Obligasi dan Sukuk TPS Food I akan segera jatuh tempo tanggal 5 April 2018 senilai Rp 900 miliar. Lalu ada juga Sukuk TPS Food II senilai Rp 1,2 triliun yang bunganya harus dibayarkan setiap periode 3 bulan.
Baca : Utang
Maret 2018
Berbagai upaya restrukturisasi utang yang ingin dilakukan perusahaan tidak ada yang membuahkan hasil. Upaya meminjam uang Rp 1,4 triliun dari Bank Mandiri, penjualan bisnis beras ke Bulog, serta penerbitan saham baru dengan target Rp 500 miliar pun tidak terlaksana. Akhirnya perseroan terpaksa harus memperpanjang tenor jatuh tempo obligasi untuk menghindari status gagal bayar.
Juni 2018
Penantian panjang para investor terhadap laporan keuangan akhirnya dipenuhi oleh perusahaan dengan menerbitkan laporan tahun 2017 di detik-detik terakhir bulan Juni 2018. Manajemen beralasan ada proses audit yang harus dilakukan. AISA melaporkan penurunan pendapatan sebesar 24,83% menjadi Rp 4,9 triliun.
Selain itu perusahaan harus menelan pil pahit kerugian sebesar Rp 551,9 miliar di akhir tahun 2017. Di bulan ini juga perseroan mengumumkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dilakukan tanggal 27 Juli 2018. Ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh pemegang saham untuk mengetahui apa yang terjadi di perusahaan.
Juli 2018
Tanggal 5 Juli 2018 saham AISA disuspensi akibat perusahaan gagal membayar bunga obligasi yang telah jatuh tempo. Harga saham pun tertahan di level Rp 168/lembar tanpa adanya kejelasan kapan suspensi akan dilepas. Selang 1 hari kemudian Group Sinarmas melalui PT Sinarmas Aset Management dan Asuransi Jiwa Sinarmas mengajukan PKPU bertujuan untuk menagih bunga Obligasi TPS Food I 2013.
Diketahui, Sinarmas Asset Management memegang Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 21,147 miliar, dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2016 senilai Rp 296 miliar. Sementara Asuransi Jiwa Sinarmas memiliki Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 100 miliar, dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2013 senilai Rp 200 miliar. Namun akhirnya PKPU ini dibatalkan.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) AISA
Momen yang dinantikan oleh para pemegang saham akhirnya tiba dimana RUPS diadakan di gedung BEI. Penulis sendiri tidak hadir di RUPS karena harus bekerja untuk memperoleh active income. Namun dari berbagai media dan forum, kita dapat mengetahui bahwa RUPS 27 Juli 2018 lalu berjalan ricuh dengan durasi yang jauh lebih panjang dibandingkan RUPS pada umumnya.Penolakan laporan keuangan tahun 2017 menjadi poin utama RUPS kali ini karena diduga ada aliran dana siluman yang keluar dari perusahaan dengan alasan tidak jelas. Jumlah Rp 1,7 triliun mengalir ke 7 perusahaan yang dimiliki oleh Joko Mogoginta, seharusnya jumlah tersebut dapat membebaskan perusahaan dari kemelut utang yang mendera perusahaan.
Belum lagi metode pencatatan yang seharusnya transaksi terafiliasi diubah menjadi transaksi pihak ketiga. Metode seperti ini tentunya menciderai asas good corporate governance (GCG). Joko pun tidak dapat menjelaskan secara clear permasalahan ini ke pemegang saham hingga akhirnya ia melakukan aksi walk out.
KKR yang saat ini memegang 9,09% saham AISA, dituding melakukan hostile take over atau pengambilalihan perusahaan secara paksa oleh Joko Mogoginta. Namun hal tersebut disangkal karena KKR tidak pernah menambah jumlah kepemilikan terhadap AISA.
Kesimpulan
Permasalahan di dalam tubuh Tiga Pilar bisa dikatakan sudah sangat kacau, penulis coba merangkumkan beberapa poin sebagai acuan bagi investor :
1. Akuisisi yang agresif
Demi meningkatkan value penjualan, perusahaan terlalu banyak mengambil langkah akuisisi agresif yang berakhir dengan gagal total. Dimulai dari akuisisi Golden Plantation (GOLL) yang berujung dengan divestasi ke perusahaan terafiliasi, lalu diikuti bisnis beras yang harus tutup.
Pemilik dengan mudahnya melakukan aksi cuci tangan melempar keluar masalah (divestasi). Cara ini sayangnya tidak dapat diterapkan ketika bisnis beras gagal sehingga masalah di dalam perusahaan menjadi berlarut-larut. Jika saja AISA tetap berada di dalam circle of competence, pastinya hal ini tidak akan terjadi.
2. Pelaporan yang tidak transparan
Terlalu banyak tipu muslihat yang dilakukan manajemen sangat membingungkan investor retail. Divestasi GOLL tidak kunjung dilunasi oleh JOM (perusahaan milik Joko Mogoginta), lalu banyaknya aliran dana keluar untuk anak usaha yang tidak jelas peruntukannya. Padahal uang tersebut bisa digunakan untuk melunasi bunga bahkan pokok pinjaman.
3. Kepemilikan saham terus berkurang
Per tahun 2017, Tiga Pilar Corpora masih memiliki 22% saham AISA dan menempatkan pemilik perseroan sebagai pengendali. Namun pada periode Juli 2018 ini, Tiga Pilar sudah tidak berada dalam posisi pemegang saham di atas 5%. Kepemilikan yang terus berkurang ini mengindikasikan pemilik akan segera kabur meninggalkan perusahaan.
Apakah Perusahaan Masih Bisa Diselamatkan?
Analisa subjektif dari penulis adalah masih bisa, namun dibutuhkan strategi restrukturisasi yang berdasar pada inti masalah. Penulis sebagai pemegang saham perusahaan juga setuju agar posisi manajemen dirombak total dengan orang baru yang lebih capable mengingat jumlah saham Tiga Pilar Corpora yang juga terus berkurang.
Walaupun posisi perusahaan saat ini sudah kacau, akan tetapi ini tidaklah lebih buruk dibandingkan Bumi Resources (BUMI) yang ternyata juga dapat diselamatkan. Apalagi sektor consumer goods adalah sektor yang memiliki brand loyalty yang bagus. Namun tentunya keputusan investasi atau cut loss kembali ke pribadi masing-masing.
Baca : Posisi Loss Jadi Investor Fundamental Dadakan?
Comments
Post a Comment