Prospek Saham AISA dengan Terjeratnya Kasus Beras Oplos PT IBU
Pertengahan tahun 2017 ini bursa saham dikejutkan dengan kasus beras oplosan yang dilakukan oleh Indo Beras Unggul (PT IBU). Selain kasus beras oplosan, PT IBU juga diduga melakukan penipuan terhadap konsumen terkait nilai gizi pada produk. Kasus ini berakibat pada kepanikan para investor yang menyeret saham induk usaha PT IBU yaitu Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA). Harga saham yang sebelumnya berada dikisaran Rp 2.000 terjun bebas ke angka Rp 1.200 atau turun 40% dalam jangka waktu kurang lebih 2 bulan.
PT Indo Beras Unggul
Tahun 2011 adalah awal mulai berdirinya PT IBU yang merupakan hasil dari akuisisi pabrik beras dan merek beras milik PT Alam Makmur Sembada yang telah diubah namanya menjadi PT Indo Beras Unggul. Jumlah saham yang dimiliki oleh Tiga Pilar atas Indo Beras adalah 99,9%. PT IBU pun tercatat pernah meraih SNI Award 2015 Peringkat Emas.
Tiga Pilar Sejahtera Food
Didirikan pada tahun 1992, Tiga Pilar memulai dengan produk utama mereka yaitu bihun dan mie kering. Dengan terus berkembangnya usaha, perseroan merambah ke lini produk lainnya di sektor makanan seperti mie instan, biskuit dan makanan ringan. Hingga saat ini, pendapatan perusahaan terbagi menjadi 2 lini bisnis yaitu :
FOOD
Terdiri dari 7 perusahaan dengan produk berupa :
- Mie Kering : Superior, Ayam 2 Telor, Filtra, dan lain-lain
- Bihun : Bihunku, Tanam Jagung, Panen Jagung, Pilihan Bunda
- Mie Instan : Mie Kremezz
- Wafer / Snack : Taro, Bravo, Pio
- Biskuit : Growie
- Permen : Gulas
RICE
Terdiri dari 5 perusahaan dengan kapasitas produksi 480.000 ton per tahun, TPS Rice berhasil membukukan penjualan sebesar Rp 4 triliun di tahun 2016. Dengan jumlah penjualan tersebut, divisi Rice memegang 61% dari seluruh total penjualan AISA. Merk beras yang dimiliki antara lain : Ayam Jago, Maknyuss, Desa Cianjur, Rojolele Dumbo dan beberapa merk lainnya lagi.
Kinerja Perusahaan
Dari grafik yang diterbitkan saat menyampaikan laporan keuangan tahun 2016, kinerja AISA tergolong sangat baik dengan pendapatan yang terus meningkat dari tahun 2014 di Rp 5,1 triliun menjadi Rp 6,5 triliun di tahun 2016. Laba usaha pun mencatatkan angka yang positif ditambah dengan melonjaknya laba dari Rp 739 miliar di 2015 menadi Rp 1,2 triliun. Ekuitas ikut mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan kinerja perusahaan. Padahal bisa dibilang tahun 2015 dan 2016 menjadi tahun-tahun yang berat bagi perusahaan lain.
Tercatat AISA hanya pernah membagikan 3 kali dividen yaitu dari tahun 2012-2014. Padahal perusahaan telah masuk ke bursa saham mulai dari tahun 1999. Nominal dividen yang dibagikan perusahaan juga termasuk kecil karena dividen yield tidak pernah mencapai 1% jika dibandingkan dengan harga saham yang sedang berjalan. Oleh karena itu akan sulit untuk memvaluasi perusahaan jika melihat dari komponen dividen.
Baca : Dividen
AISA juga pernah melakukan right issue di tahun 2014 terlihat dari jumlah saham beredar menjadi 3.218 juta padahal di tahun sebelumnya jumlah saham hanya 2.926 juta. Sehingga di masa mendatang ketika perusahaan membagikan dividen dengan nominal yang sama, maka investor akan memperoleh nominal yang lebih kecil.
Baca : Keuntungan dan Kerugian Right Issue
Pengaruh Kasus PT IBU terhadap Group Tiga Pilar
Dari berita yang beredar disebutkan bahwa jumlah beras yang disita dari anak usaha Tiga Pilar berjumlah 1.161 ton. Penulis akan mencoba membuat analisa sederhana kerugian perusahaan untuk kasus ini dimana pahitnya bahwa beras yang telah disita tidak dapat dikeluarkan kembali.
Harga jual beras : Rp 20.000/kg
Total kerugian 1.161 ton :
= (Rp 20.000 x 1.161.000 kg) - margin 20%
= Rp 18.576.000.000
Nilai kerugian yang berkisar di angka Rp 18,5 miliar bukanlah angka yang besar mengingat perusahaan di tahun 2016 membukukan pendpatan bersih Rp 593 miliar. Jika dikalkulasikan angka 18,5 miliar hanya merepresentasikan 3,1% dari pendapatan bersih sehingga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan kondisi perusahaan akibat kerugian ini.
Yang perlu diperhatikan adalah dampak terhadap brand yang dimiliki oleh perusahaan, dalam kasus ini adalah brand Maknyuss dan Cap Ayam Jago yang diindikasi telah melanggar hukum. Dari laporan keuangan tahun 2016, AISA mengatakan bahwa kontribusi penjualan divisi beras mencapai Rp 4 triliun di mana branded beras berkontribuasi sebanyak 25% dari penjualan divisi beras.
Kita ambil pahitnya juga bahwa beras merk Maknyuss dan Cap Ayam Jago tidak bisa terjual kembali, maka perusahaan akan mengalami kehilangan pendapatan sebagai berikut :
Persentase kontribusi Maknyuss dan Cap Ayam Jago :
= 2 brand : 8 brand x 25%
= 6,25%
Pengaruh terhadap pendapatan :
= 6.25% dari Rp 4 triliun
= Rp 250 miliar
Perlu dicatat bahwa ini hanya perhitungan kasar dimana penulis tidak tahu berapa kontribusi beras cap Maknyuss dan Cap Ayam Jago terhadap divisi Rice. Namun membandingkan nilai potensi kehilangan Rp 250 miliar dengan penjualan total perusahaan yang mencapai Rp 6,5 triliun, ini hanya menyumbang 3% saja. Angka ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan per tahun yang mencapai Rp 500 miliar (2015 ke 2016).
Perbandingan dengan Kompetitor
Saat ini perusahaan pesaing yang berada di sektor Food-Rice hanya Buyung Poetra Sembada (HOKI). Dan saham ini baru saja IPO di tahun 2017 ini, maka untuk membandingkan kinerja saham AISA dengan perusahaan pesaing belum dapat dilakukan. Untuk masuk ke saham pesaing yaitu HOKI yang baru saja IPO juga tentunya sangat beresiko.
Baca : 5 Alasan menghindari saham IPO
Kesimpulan
Dari analisa sederhana di atas, terlihat bahwa market terlalu panik dan pesimis terhadap saham AISA karena perusahaan sedang terjerat kasus hukum. Oleh karena itu harga saham dibawa turun secara terus menerus dalam periode yang sangat singkat. Per tanggal 11 Agustus 2017, harga saham pun sudah berada di level Rp 1.020 dimana rasio PER=8.0, PBV=0.8 dan PSR=0.5. Beberapa rasio ini menunjukkan bahwa harga saham sudah masuk dalam kategori undervalued dan layak untuk disimpan.
Baca : Mengapa Saham Undervalued Terus Turun?
Namun sebagai investor, kita tetap harus berhati-hati sebelum masuk ke saham AISA karena market masih dalam kondisi panik sehingga bukan tidak mungkin harga saham akan turun lebih dalam lagi. Selain itu kasus hukum juga belum selesai dimana ketidakpastian masih cukup besar. Timing dalam membeli saham ini sangatlah penting agar bisa mendapatkan profit.
Dari berita yang beredar disebutkan bahwa jumlah beras yang disita dari anak usaha Tiga Pilar berjumlah 1.161 ton. Penulis akan mencoba membuat analisa sederhana kerugian perusahaan untuk kasus ini dimana pahitnya bahwa beras yang telah disita tidak dapat dikeluarkan kembali.
Harga jual beras : Rp 20.000/kg
Total kerugian 1.161 ton :
= (Rp 20.000 x 1.161.000 kg) - margin 20%
= Rp 18.576.000.000
Nilai kerugian yang berkisar di angka Rp 18,5 miliar bukanlah angka yang besar mengingat perusahaan di tahun 2016 membukukan pendpatan bersih Rp 593 miliar. Jika dikalkulasikan angka 18,5 miliar hanya merepresentasikan 3,1% dari pendapatan bersih sehingga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan kondisi perusahaan akibat kerugian ini.
Yang perlu diperhatikan adalah dampak terhadap brand yang dimiliki oleh perusahaan, dalam kasus ini adalah brand Maknyuss dan Cap Ayam Jago yang diindikasi telah melanggar hukum. Dari laporan keuangan tahun 2016, AISA mengatakan bahwa kontribusi penjualan divisi beras mencapai Rp 4 triliun di mana branded beras berkontribuasi sebanyak 25% dari penjualan divisi beras.
Kita ambil pahitnya juga bahwa beras merk Maknyuss dan Cap Ayam Jago tidak bisa terjual kembali, maka perusahaan akan mengalami kehilangan pendapatan sebagai berikut :
Persentase kontribusi Maknyuss dan Cap Ayam Jago :
= 2 brand : 8 brand x 25%
= 6,25%
Pengaruh terhadap pendapatan :
= 6.25% dari Rp 4 triliun
= Rp 250 miliar
Perlu dicatat bahwa ini hanya perhitungan kasar dimana penulis tidak tahu berapa kontribusi beras cap Maknyuss dan Cap Ayam Jago terhadap divisi Rice. Namun membandingkan nilai potensi kehilangan Rp 250 miliar dengan penjualan total perusahaan yang mencapai Rp 6,5 triliun, ini hanya menyumbang 3% saja. Angka ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan per tahun yang mencapai Rp 500 miliar (2015 ke 2016).
Perbandingan dengan Kompetitor
Saat ini perusahaan pesaing yang berada di sektor Food-Rice hanya Buyung Poetra Sembada (HOKI). Dan saham ini baru saja IPO di tahun 2017 ini, maka untuk membandingkan kinerja saham AISA dengan perusahaan pesaing belum dapat dilakukan. Untuk masuk ke saham pesaing yaitu HOKI yang baru saja IPO juga tentunya sangat beresiko.
Baca : 5 Alasan menghindari saham IPO
Kesimpulan
Dari analisa sederhana di atas, terlihat bahwa market terlalu panik dan pesimis terhadap saham AISA karena perusahaan sedang terjerat kasus hukum. Oleh karena itu harga saham dibawa turun secara terus menerus dalam periode yang sangat singkat. Per tanggal 11 Agustus 2017, harga saham pun sudah berada di level Rp 1.020 dimana rasio PER=8.0, PBV=0.8 dan PSR=0.5. Beberapa rasio ini menunjukkan bahwa harga saham sudah masuk dalam kategori undervalued dan layak untuk disimpan.
Baca : Mengapa Saham Undervalued Terus Turun?
Namun sebagai investor, kita tetap harus berhati-hati sebelum masuk ke saham AISA karena market masih dalam kondisi panik sehingga bukan tidak mungkin harga saham akan turun lebih dalam lagi. Selain itu kasus hukum juga belum selesai dimana ketidakpastian masih cukup besar. Timing dalam membeli saham ini sangatlah penting agar bisa mendapatkan profit.
Comments
Post a Comment