Saham INAF Turun 85% Selama 2019, Apakah Termasuk Saham Undervalued?
Bisa dikatakan selama tahun 2019 ini, bursa saham Indonesia bergerak cukup flat dengan hasil akhir ditutup sedikit positif yaitu naik 1,7%. Akan tetapi kinerja saham per tiap perusahaan sangat berbeda-beda, ada yang naik puluhan atau bahkan ratusan persen. Adapula yang turun puluhan persen hingga mencapai titik terendah yaitu Rp 50/lembar.
INAF merupakan salah satu emiten yang kinerja sahamnya sangat buruk selama tahun 2019 ini yaitu turun hingga 85%. Di artikel ini penulis akan coba membedah laporan keuangan perseroan untuk melihat apakah memang karena kinerja perusahaan yang buruk atau perusahaan malah sudah masuk ke dalam kategori undervalued.
Indofarma (INAF)
Berawal dari sebuah pabrik skala kecil di tahun 1918 yang memproduksi berbagai jenis salep dan kasa pembalut, INAF menjelma menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan terus berkembangnya usaha, maka di tahun 2001 perseroan go public.
Komposisi pemegang saham perusahaan ditempati oleh pemerintah RI dengan kepemilikan 2,5 miliar lembar saham atau setara dengan 80,66%. Lalu diposisi kedua ada ASABRI (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI) dengan kepemilikan 227 juta lembar saham atau setara dengan 7,34%. Saat ini sedang sangat heboh atas dugaan korupsi di beberapa perusahaan BUMN termasuk ASABRI. Lalu masyarakat memegang 371 juta lembar saham atau setara dengan 11,99%.
Penjualan emiten yang bergerak di bidang Consumer Goods - Pharmaceuticals ini bisa terbilang flat berada di range Rp 1,3 - 1,5 triliun. Pertumbuhan penjualan yang terbilang baik hanya terjadi di tahun 2014 ke 2015 yaitu sebesar 17%, sisanya bisa dikatakan mengecewakan. Tiga tahun terakhir (2016-2018) Indofarma terus mencatatkan kerugian bersih, keuntungan yang terjadi di tahun 2014 dan 2015 pun terbilang sangat kecil untuk mengkompensasi kerugian tersebut.
Dikarenakan penjualan dan keuntungan perusahaan dikategorikan tidak baik, maka posisi aset dan liabilitas juga hanya berfluktuasi tanpa ada arah yang jelas. Hal negatif dapat terlihat di posisi ekuitas perseroan yang terus turun mulai dari tahun 2015 di Rp 592 miliar menjadi Rp 496 miliar di tahun 2018 atau turun sebesar 16%.
Dari tabel ini, kita dapat menemukan banyak angka negatif pada rasio-rasio perusahaan yaitu ROA, ROE, dan Net Profit Margin. Ketika perusahaan merugi, maka 3 komponen ini tidak akan terselamatkan. Ketika masih membukukan keuntungan di tahun 2014 dan 2015, ROE perusahaan pun terbilang sangat rendah hanya di bawah 3%. Dengan ROE serendah itu, bisa diasumsikan butuh kurang lebih 50 tahun agar equity perusahaan tumbuh menjadi dua kali lipat.
Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI
Sedangkan posisi utang dengan menggunakan rasio debt to equity ratio bisa dibilang berada di level menengah karena tidak lebih dari 200%. Namun perlu diperhatikan trend perubahan DER yang selalu meningkat dari 110% di tahun 2014 menjadi 190% di tahun 2018. Indofarma juga termasuk perusahaan yang sangat jarang membagikan dividen. Tercatat dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang, perusahaan hanya pernah membagikan dividen satu kali yaitu tahun 2013.
Baca : Current Ratio, Debt to Equity (DER)
Tabel di atas penulis buat untuk menunjukkan pergerakan saham perseroan yang terbilang luar biasa. Jika ada seseorang trader / investor yang masuk secara full year di tahun 2016, mungkin mereka akan berpikir bahwa mereka adalah salah satu investor terhebat di dunia. Dalam waktu hanya 1 tahun saja, saham BUMN ini sudah naik sebanyak 26,8 kali lipat.
Pergerakan saham yang aneh terjadi di tahun 2016 dimana harga saham meningkat sangat tinggi, namun perusahaan selalu merugi setiap kuartalnya. Bagaimana mungkin saham yang sedang merugi di tahun tersebut bisa naik sedemikian pesatnya? Tentunya ada sesuatu yang sangat mencurigakan, dimana para investor senior sudah mengenali hal semacam ini. Di tahun-tahun berikutnya pun saham terus naik walaupun persentasenya tidak sebesar di tahun 2016.
Namun itu tetaplah aneh, karena perusahaan juga merugi di tahun 2017 dan 2018. Barulah di tahun 2019, saham perusahaan dibanting dengan keras hingga turun 85% menjadi Rp 870/lembar. Penulis pun menyakini bahwa perununan ini belumlah usai kecuali ada perbaikan pada fundamental perusahaan.
Lalu apakah dengan penurunan 85% ini menjadikan saham INAF sebagai undervalued stock?
Jawabannya tidak, rasio yang paling sederhana untuk menjawabnya yaitu dengan menggunakan PBV. Dimana PBV perusahaan berada di level 5,8 pada saat harga saham Rp 870/lembar. Rasio ini bahkan lebih besar dari Kalbe Farma (KLBF) yang notabene merupakan salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia.
Baca : Analisa Saham Menggunakan PBV dan PSR
Bahkan tanpa mengecek rasio profitabilitas KLBF, penulis yakin bahwa tidak ada satupun rasio yang menempatkan INAF lebih baik daripada KLBF. Jadi sangat tidak mungkin rasio PBV saham INAF bisa lebih tinggi daripada KLBF jika tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Untuk sementara lebih baik menghindari saham seperti ini, karena salah satu pemegang saham yaitu ASABRI juga tengah diduga melakukan tindak pidana.
Berawal dari sebuah pabrik skala kecil di tahun 1918 yang memproduksi berbagai jenis salep dan kasa pembalut, INAF menjelma menjadi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertujuan untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan terus berkembangnya usaha, maka di tahun 2001 perseroan go public.
Komposisi pemegang saham perusahaan ditempati oleh pemerintah RI dengan kepemilikan 2,5 miliar lembar saham atau setara dengan 80,66%. Lalu diposisi kedua ada ASABRI (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI) dengan kepemilikan 227 juta lembar saham atau setara dengan 7,34%. Saat ini sedang sangat heboh atas dugaan korupsi di beberapa perusahaan BUMN termasuk ASABRI. Lalu masyarakat memegang 371 juta lembar saham atau setara dengan 11,99%.
Penjualan emiten yang bergerak di bidang Consumer Goods - Pharmaceuticals ini bisa terbilang flat berada di range Rp 1,3 - 1,5 triliun. Pertumbuhan penjualan yang terbilang baik hanya terjadi di tahun 2014 ke 2015 yaitu sebesar 17%, sisanya bisa dikatakan mengecewakan. Tiga tahun terakhir (2016-2018) Indofarma terus mencatatkan kerugian bersih, keuntungan yang terjadi di tahun 2014 dan 2015 pun terbilang sangat kecil untuk mengkompensasi kerugian tersebut.
Dikarenakan penjualan dan keuntungan perusahaan dikategorikan tidak baik, maka posisi aset dan liabilitas juga hanya berfluktuasi tanpa ada arah yang jelas. Hal negatif dapat terlihat di posisi ekuitas perseroan yang terus turun mulai dari tahun 2015 di Rp 592 miliar menjadi Rp 496 miliar di tahun 2018 atau turun sebesar 16%.
Dari tabel ini, kita dapat menemukan banyak angka negatif pada rasio-rasio perusahaan yaitu ROA, ROE, dan Net Profit Margin. Ketika perusahaan merugi, maka 3 komponen ini tidak akan terselamatkan. Ketika masih membukukan keuntungan di tahun 2014 dan 2015, ROE perusahaan pun terbilang sangat rendah hanya di bawah 3%. Dengan ROE serendah itu, bisa diasumsikan butuh kurang lebih 50 tahun agar equity perusahaan tumbuh menjadi dua kali lipat.
Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI
Sedangkan posisi utang dengan menggunakan rasio debt to equity ratio bisa dibilang berada di level menengah karena tidak lebih dari 200%. Namun perlu diperhatikan trend perubahan DER yang selalu meningkat dari 110% di tahun 2014 menjadi 190% di tahun 2018. Indofarma juga termasuk perusahaan yang sangat jarang membagikan dividen. Tercatat dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang, perusahaan hanya pernah membagikan dividen satu kali yaitu tahun 2013.
Baca : Current Ratio, Debt to Equity (DER)
Tabel di atas penulis buat untuk menunjukkan pergerakan saham perseroan yang terbilang luar biasa. Jika ada seseorang trader / investor yang masuk secara full year di tahun 2016, mungkin mereka akan berpikir bahwa mereka adalah salah satu investor terhebat di dunia. Dalam waktu hanya 1 tahun saja, saham BUMN ini sudah naik sebanyak 26,8 kali lipat.
Pergerakan saham yang aneh terjadi di tahun 2016 dimana harga saham meningkat sangat tinggi, namun perusahaan selalu merugi setiap kuartalnya. Bagaimana mungkin saham yang sedang merugi di tahun tersebut bisa naik sedemikian pesatnya? Tentunya ada sesuatu yang sangat mencurigakan, dimana para investor senior sudah mengenali hal semacam ini. Di tahun-tahun berikutnya pun saham terus naik walaupun persentasenya tidak sebesar di tahun 2016.
Namun itu tetaplah aneh, karena perusahaan juga merugi di tahun 2017 dan 2018. Barulah di tahun 2019, saham perusahaan dibanting dengan keras hingga turun 85% menjadi Rp 870/lembar. Penulis pun menyakini bahwa perununan ini belumlah usai kecuali ada perbaikan pada fundamental perusahaan.
Lalu apakah dengan penurunan 85% ini menjadikan saham INAF sebagai undervalued stock?
Jawabannya tidak, rasio yang paling sederhana untuk menjawabnya yaitu dengan menggunakan PBV. Dimana PBV perusahaan berada di level 5,8 pada saat harga saham Rp 870/lembar. Rasio ini bahkan lebih besar dari Kalbe Farma (KLBF) yang notabene merupakan salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia.
Baca : Analisa Saham Menggunakan PBV dan PSR
Bahkan tanpa mengecek rasio profitabilitas KLBF, penulis yakin bahwa tidak ada satupun rasio yang menempatkan INAF lebih baik daripada KLBF. Jadi sangat tidak mungkin rasio PBV saham INAF bisa lebih tinggi daripada KLBF jika tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Untuk sementara lebih baik menghindari saham seperti ini, karena salah satu pemegang saham yaitu ASABRI juga tengah diduga melakukan tindak pidana.
Comments
Post a Comment