HOME       TRAKTEER     ARTIKEL SAHAM      ARTIKEL FUNDAMENTAL      LO KHENG HONG      HAIYANTO     WARREN BUFFETT      NON SAHAM

Hypermart Telat Bayar Pemasok, Bagaimana Kondisi MPPA?

Belakangan ini terdengar kabar yang kurang menyenangkan mengenai salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia yaitu Hypermart. Anak usaha dari group saham MPPA / Matahari Putra Prima, dikabarkan sedang menunggak pembayaran kepada para pemasok. Manajemen berjanji akan melunasi semua utang yang telah jatuh tempo di tanggal 14 September nanti.

Kondisi kurang baik ini pun juga dialami oleh PT. Hero Supermarket (HERO) yang telah menutup 74 gerai di sepanjang tahun 2015. Lalu di tahun 2016 ini, HERO juga melakukan transfer dan menutup convenience store Starmart sebanyak 84 gerai. Walaupun begitu kondisi laporan keuangan HERO masih terbilang cukup baik dengan membukukan keuntungan bersih Rp 120 miliar di tahun 2016.

Seven Eleven menjadi contoh terburuk yang sampai harus menutup seluruh gerai per akhir Juni 2017. Akan tetapi beberapa tahun yang berat ini sepertinya tidak dialami oleh PT. Sumber Alfaria Trijaya (AMRT). Peritel minimarket yang terkenal dengan nama Alfamart terus membukukan peningkatan jumlah gerai dan pendapatan di setiap tahun.

Baca : Seven Eleven Tutup, Bagaimana Kondisi MDRN?

Matahari Putra Prima (MPPA)
Berdiri tahun 1986, saat ini Matahari telah mengoperasikan 290 gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini MPPA memiliki 299 gerai yang terdiri dari 115 Hypermart, 3 Smart Club, 26 Foodmart, 109 Boston dan 46 FMX. Dengan porsi jumlah gerai terbesar, bisnis Hypermart menyumbang 76,8% dari total penjualan MPPA sebesar Rp 10,3 triliun.

Melihat perkembangan e-commerce yang pesat, MPPA pun tidak mau ketinggalan dan ikut serta dalam kepemilikan saham PT. Global E-commerce Indonesia (penyedia layanan dan operator MatahariMall.com) sebanyak 8,48%. Namun bisnis e-commerce tidak dapat dikatakan sebagai investasi yang brilian dikarenakan sangat beratnya kompetisi di bisnis tersebut. Saat ini kontribusi bisnis e-commerce MPPA pun hanya dapat menyumbang kurang dari 1% total pendapatan perusahaan.

Saat ini 50,2% saham MPPA dipegang oleh Multipolar yang sekaligus bertindak sebagai pengendali perusahaan. Multipolar (MLPL) sendiri adalah induk dari berbagai perusahaan Lippo yaitu Matahari Putra Prima (MPPA), Matahari Department Store (LPPF), Timezone, Multipolar Technology (MLPT), First Media (KBLV) dan beberapa perusahaan lainnya. Selain itu saham MPPA juga dipegang oleh Prime Star sebanyak 26,1% dan publik sebanyak 23,7%.

* Data total sales dan net income dalam satuan miliar rupiah
MPPA saat ini tengah mengalami perlambatan laju pertumbuhan ditunjukkan dari total sales tahun 2015 dan 2016 yang hampir sama dengan tahun 2014. Di lain sisi, net income turun drastis dimulai dari tahun 2015 yang hanya memperoleh Rp 182 miliar dan tahun 2016 dengan hanya Rp 38 miliar. Hal ini juga dibarengi dengan turunnya ROE dan ROA pula di tahun 2015 dan 2016.

Baca : 5 Hal Penting Mengenai ROE, ROA dan ROI

Merujuk histori 5 tahun ke belakang, perusahaan membukukan kinerja yang baik hanya di tahun 2013 dan 2014 dimana ROE bisa berada di atas 10% dan ROA rata-rata di atas 7%. Perusahaan terbilang cukup baik dalam menjaga rasio utang di mana rata-rata DER berkisar di angka 1. Namun perlu diperhatikan bagaimana dengan tahun 2017 ini, mengingat di tahun 2016 rasio DER naik menjadi 1,8.

Baca : Utang / Liabilities

Dari hasil kinerja yang baik tahun 2013 dan 2014, saham MPPA pun melaju dengan cepat hingga mencapai level tertinggi di Rp 4.500 pada awal tahun 2015. Setelah itu nilai saham pun anjlok dengan sangat cepat hingga di bulan September 2017, harga saham MPPA hanya Rp 670/lembar atau turun 85%.

Matahari Putra Prima juga tercatat secara rutin membagikan dividen dimulai dari tahun 2011 yaitu nominal Rp 6/lembar dengan rasio 30,7%. Di tahun 2012 dan 2013 tercatat nominal dividen yang sangat besar, namun perlu kita perhatikan bahwa hal ini tidak hanya bersumber dari net income tapi juga dari laba yang ditahan. Diakhiri dengan tahun 2015 dimana perusahaan membagikan hampir semua net income perusahaan  yaitu sebanyak 97% atau Rp 33/lembar.

Laporan keuangan tahun 2017 untuk kuartal 1 dan 2 menunjukkan bahwa perusahaan sedang mengalami masa-masa berat dengan membukukan kerugian mencapai Rp 169 miliar. Padahal di periode yang sama kuartal 2 tahun 2016, kerugian perusahaan hanya Rp 20 miliar dan masih mudah untuk membawa ke arah positif pada akhir tahun 2016.

Kesimpulan
Turunnya saham MPPA hingga 85% dalam periode waktu 2,5 tahun pastinya membuat beberapa investor bertanya-tanya apakah saham sudah masuk kategori undervalued atau belum. Cara paling sederhana untuk menentukan adalah dengan melihat rasio PBV (Price to Book Value), dimana saat ini PBV perusahaan = 1,6 sedangkan PER berada di kondisi minus karena perusahaan sedang merugi.

Dengan nilai PBV di atas 1, penulis masih menganggap saham ini overvalued. Terlebih lagi ketika harga saham sempat menyentuh Rp 4.500, hal ini benar-benar di luar logika mengingat kinerja perusahaan tidak tergolong sangat baik sekali. Di lain sisi, perusahaan kompetitor yaitu HERO saat ini juga hanya memiliki rasio PBV = 0,9 dan rasio PER = 35

Baca : Analisa Saham dengan PBV dan PSR

Dalam hal ini, HERO lebih tepat disebut sebagai kompetitor utama karena konsep gerai yang dimiliki 2 perusahaan ini terbilang mirip yaitu sama-sama mengusung lokasi di dalam mall, pusat perbelanjaan atau bangunan sendiri dengan lahan yang cukup besar. Sedangkan Alfamart menggunakan konsep franchise dengan dengan lahan kecil ruko yang tersebar di setiap lokasi.

Dengan masih beratnya kondisi ekonomi retail saat ini, bukan tidak mungkin MPPA dapat mengalami hal yang sama dengan HERO yaitu penutupan beberapa gerai yang dinilai kurang produktif. Walaupun begitu, MPPA terbilang masih cukup optimis dengan melakukan ekspansi 27 gerai baru dari brand-brand yang telah dimiliki sepanjang tahun 2016.

Comments

RECENT POSTS

    Popular posts from this blog

    Kapan Waktu Terbaik Membeli Saham?

    Lo Kheng Hong & Haiyanto Masuk Saham ABMM

    Haiyanto dan Surono Subekti Masuk ke Saham CFIN

    Apa yang Dapat Dipelajari dari Delisting Saham INVS ?

    Prospek Saham APLN dengan Penghentian Reklamasi Pulau G

    Benarkah Reksadana dan Unit Link Tidak Lebih Baik dari Saham?

    Analisa Saham Menggunakan PER dan PEG

    Perjalanan Sukarto Bujung dan Surono Subekti di saham MICE

    Saham TELE Turun di bawah Harga IPO, Apakah Masih Ada Prospek?

    BBKP Revisi Laporan Keuangan, Bagaimana Kondisi Perusahaanya?